Berdasarkan ketetapan pemerintah, nelayan adalah kelompok usaha sasaran penerima solar subsidi. Namun mereka terjebak dalam kondisi kelangkaan solar yang ditengarai terjadi akibat penyalahgunaan solar subsidi ke industri yang harusnya mengkonsumsi solar industri yang harganya lebih mahal.
Ironisnya, sambung Atan, peningkatan biaya produksi akibat menggunakan solar industri berbanding terbalik dengan hasil yang mereka dapatkan.
"Kalau kapal besar itu setidaknya sekali jalan dulu cukup Rp20 juta. Sekarang bisa sampai Rp40 juta. Tapi (kenaikan) hasilnya enggak sebesar itu," sebutnya.
"Memang jumlah nelayan yang melaut berkurang karena solar sulit didapat. Tapi faktor alam (cuaca buruk) membuat hasil tangkapan berkurang. Belum lagi soal perijinan (wilayah tangkapan). Harga di pasar juga enggak naikkan," tambahnya.
Atan pun berharap pemerintah segera mencarikan solusi untuk para nelayan. Salah satunya dengan kembali mengaktifkan stasiun pengisian solar khusus untuk nelayan (SPDN) di untuk memudahkan para nelayan mendapatkan solar.
"Dulu ada SPDN milik AKR. Kita harap bisa diaktifkan kembali dan ditambah jumlahnya," pungkasnya.
(IND)