IDXChannel - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan asumsi harga minyak Indonesia, Indonesia Crude Price (ICP). Dia sependapat faktor ketidakpastian masih tinggi, khususnya terkait penyelesaian konflik geopolitik serta prospek kinerja ekonomi global, terutama di AS dan China yang akan berdampak pada keseimbangan supply-demand minyak di tahun 2023.
"Prospek penyelesaian konflik geopolitik dapat merubah peta perdagangan komoditas energi dunia secara signifikan. Demikian juga dengan prospek kinerja ekonomi global, khususnya AS, Eropa dan China," ujar Sri dalam rapat paripurna DPR RI di Jakarta, Rabu(31/5/2022).
Sesuai komitmen pemerintah, dengan tetap menjaga kesehatan fiskal, peran APBN akan dioptimalkan sebagai shock absorber jika terjadi guncangan. Oleh karena itu, APBN perlu dirancang agar getap hati-hati dan fleksibel. Pemerintah juga terus memonitor perkembangan pasar minyak mentah global sehingga proyeksi asumsi ICP dapat dikalkulasi secara kredibel.
"Berbagai proyeksi lembaga internasional menunjukkan bahwa harga minyak mentah global tahun 2023 masih cukup tinggi, meskipun sedikit melandai dibandingkan tahun 2022," tambah Sri.
Menanggapi pandangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS dan Fraksi PAN terkait langkah antisipatif dalam menjaga fundamental perekonomian domestik dan stabilitas sektor keuangan, dapat disampaikan bahwa perkembangan nilai tukar rupiah dan suku bunga SBN tidak terlepas dari eskalasi risiko ketidakpastian perekonomian global yang cukup tinggi.
"Sejak meningkatnya konflik geopolitik di Eropa, disrupsi di sisi supply menjadi semakin parah sehingga mendorong lonjakan tinggi harga-harga komoditas. Hal tersebut mendorong naiknya tekanan inflasi yang mulai cenderung persisten di banyak negara maju maupun berkembang," terang Sri.
Merespon hal ini, otoritas moneter di berbagai negara mulai mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter yang cenderung agresif, terutama di AS. Beberapa langkah kebijakan yang diambil otoritas moneter The Fed antara lain penghentian quantitative easing yang diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan, serta pengurangan balance sheet secara signifikan yang berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat.
Kombinasi dari kebijakan tingkat bunga dan penyesuaian balance sheet tersebut telah mendorong peningkatan yield surat utang US Treasury dan juga berpengaruh pada negara maju lainnya.
"Hal ini berpotensi membuat volatilitas di pasar keuangan global meningkat, mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko yang terjadi di negara berkembang, dan membuat cost of fund menjadi lebih tinggi. Selain itu, kebijakan dolar kuat (strong dollar policy) juga ditempuh oleh AS untuk mengatasi inflasi," terangnya.
Kombinasi tingginya suku bunga dan dolar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan serta meningkatnya beban pembayaran utang (debt services). Dengan memperhatikan bahwa kebijakan yang sama terkait penyesuaian tingkat bunga dan pengurangan balance sheet oleh The Fed yang sebelumnya juga pernah diterapkan di tahun 2018 dan berdampak cukup signifikan pada cost of fund pemerintah, maka tidak dapat dihindari potensi terjadinya kenaikan imbal hasil SBN.
"Peningkatan tersebut akan berdampak pada peningkatan beban bunga APBN. Mempertimbangkan kondisi tingginya ketidakpastian global akibat eskalasi geopolitik dan pengetatan kebijakan moneter negara maju, dalam hal ini AS, yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga 2023, telah mendorong penetapan asumsi tingkat suku bunga SBN 10 Tahun yang lebih tinggi daripada tahun 2022," jelas Sri.
Namun demikian, pemerintah secara konsisten mengupayakan agar dapat menekan peningkatan suku bunga, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan menekan biaya utang dalam jangka panjang. Pengembangan pasar keuangan dilakukan secara konsisten untuk mendorong terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid, yang berdampak dapat memberikan imbal hasil yang relatif rendah bagi pemerintah.
"Selain itu, Kementerian Keuangan bersama dengan anggota KSSK lainnya yaitu BI, OJK dan LPS, berkomitmen untuk memperkuat koordinasi dan sinergi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menjaga volatilitas suku bunga serta menjaga pergerakan nilai tukar rupiah pada kisaran yang ditargetkan agar memberikan kepastian bagi para pelaku ekonomi," pungkas Sri. (TYO)