"Sejak meningkatnya konflik geopolitik di Eropa, disrupsi di sisi supply menjadi semakin parah sehingga mendorong lonjakan tinggi harga-harga komoditas. Hal tersebut mendorong naiknya tekanan inflasi yang mulai cenderung persisten di banyak negara maju maupun berkembang," terang Sri.
Merespon hal ini, otoritas moneter di berbagai negara mulai mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter yang cenderung agresif, terutama di AS. Beberapa langkah kebijakan yang diambil otoritas moneter The Fed antara lain penghentian quantitative easing yang diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan, serta pengurangan balance sheet secara signifikan yang berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat.
Kombinasi dari kebijakan tingkat bunga dan penyesuaian balance sheet tersebut telah mendorong peningkatan yield surat utang US Treasury dan juga berpengaruh pada negara maju lainnya.
"Hal ini berpotensi membuat volatilitas di pasar keuangan global meningkat, mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko yang terjadi di negara berkembang, dan membuat cost of fund menjadi lebih tinggi. Selain itu, kebijakan dolar kuat (strong dollar policy) juga ditempuh oleh AS untuk mengatasi inflasi," terangnya.
Kombinasi tingginya suku bunga dan dolar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan serta meningkatnya beban pembayaran utang (debt services). Dengan memperhatikan bahwa kebijakan yang sama terkait penyesuaian tingkat bunga dan pengurangan balance sheet oleh The Fed yang sebelumnya juga pernah diterapkan di tahun 2018 dan berdampak cukup signifikan pada cost of fund pemerintah, maka tidak dapat dihindari potensi terjadinya kenaikan imbal hasil SBN.