Tak Selamanya Berkah Komoditas
Hasran, ekonom Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, untuk mengukur sampai kapan Indonesia akan menikmati berkah komoditas dan mengalami surplus perdagangan, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, kondisi ekonomi global khususnya negara mitra dagang terbesar yakni AS, China, India, Jepang, dan Korea. Pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara seperti AS, India, Korea Selatan diproyeksikan akan lebih rendah dan dapat berpengaruh terhadap permintaan komoditas unggulan. Ini yang akan berisiko menghambat ekspor-impor dalam beberapa waktu ke depan.
Kedua, kondisi perekonomian domestik. Diketahui, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2023 mencerminkan tingkat ekspektasi konsumen yang tercatat 122,4 dan masih terjaga dalam zona optimis terhadap permintaan dalam negeri.
Ketiga, harga komoditas di pasar global. Penurunan ekspor non migas diikuti oleh penurunan sejumlah komoditas utama dunia seperti batu bara, minyak sawit, timah, minyak mentah dan gas alam.
Melansir Bloomberg, rata-rata harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) sepanjang Februari 2023 adalah USD222,12/ton.
Anjlok 38,69% dibandingkan rerata bulan sebelumnya dan 5,98% lebih rendah dari rata-rata Februari tahun lalu.
Sementara menurut catatan BPS, harga batu bara telah menurun menjadi USD207,5 per MT.
Akibatnya secara nilai, angka ekspor jadi lebih rendah, meskipun secara volume BPS masih mencatat adanya kenaikan menjadi sebesar 27,5 juta ton pada Februari, dari 26,2 juta ton pada bulan sebelumnya.
Pada harga minyak sawit, secara yoy juga mengalami penurunan sebesar 37,6% dari sebelumnya mencapai USD1344,8 per metrik ton (MT) pada Februari 2022, menjadi USD950 per MT pada Februari 2023.
Minyak mentah juga mencatatkan penurunan serupa mencapai 14,21% yoy yang harganya mencapai USD80,3 per barel. Adapun gas alam juga mengalami penurunan 48,82% yoy menjadi USD2,4 per MMBTU.
“Kondisi ekonomi AS melemah selama tahun 2023 sehingga ekspor ke sana juga akan berkurang. Namun, ekspor kita ke India, China, dan Jepang akan tetap menguat mengingat perekonomian di tiga negara ini tumbuh positif selama 2023,” ujar Hasran.
Meski demikian, menurut Hasran, beberapa komoditas unggulan seperti bahan bakar mineral, minyak dan lemak hewani/nabati, serta besi dan baja akan tumbuh walaupun harganya akan kembali normal.
Di sisi lain, impor akan mengalami penurunan walaupun masih dalam kategori terkontrol. Penyebabnya adalah ekonomi domestik yang tetap menggeliat selama 2023, sehingga kebutuhan bahan baku industri juga tetap tinggi.
“Hanya saja berkurangnya impor terjadi karena kebijakan impor kita seperti Neraca Komoditas yang mengalami permasalahan beberapa waktu lalu, dan kecenderungan Indonesia dalam mengurangi impor bahan baku Industri. Dengan demikian secara keseluruhan dalam semester pertama 2023 kita masih akan menikmati surplus neraca perdangangan” kata Hasran.
Prompt Manufacturing Index (PMI) di beberapa negara mitra dagang utama juga tengah berada pada fase ekspansi, menjadi indikasi permintaan komoditas.
Di antaranya adalah China, Amerika Serikat (AS), hingga India. China mencatatkan kenaikan PMI sebesar 51,5 pada Februari 2023 dibanding bulan sebelumnya sebesar 49,2.
Sementara PMI AS juga ekspansif ke level 47,3, naik tipis dibanding bulan sebelumnya sebesar 46,9. India masih menunjukkan stagnansi PMI sepanjang Januari-Februari 2023 yakni 55,4 dan 55,3.
“Beberapa negara mitra dagang utama mengalami peningkatan PMI. Misalnya saja India, ASEAN (Vietnam, Thailand, Singapore, Filipina) Arab Saudi, dan China rata-rata memiliki PMI rata-rata 50%. Tumbuhnya sektor manufaktur di sana juga akan meningkatkan potensi ekspor Indonesia,” imbuh Hasran. (ADF)