IDXChannel - Tantangan ekonomi global terasa kian nyata di tahun depan akibat ramalan resesi dan sejumlah perlambatan ekonomi yang akan terjadi menghampiri negara-negara ekonomi mapan, tak terkecuali G20.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan digelar pada November 2022, yang artinya sebentar lagi. Mata dunia tertuju kepada rezim ekonomi internasional ini dalam menghasilkan kebijakan yang produktif dalam membendung dampak buruk resesi tahun depan.
KTT yang akan diselenggarakan di Bali ini menggarisbawahi sejumlah agenda, termasuk pemulihan ekonomi yang belum selesai akibat Covid-19.
Namun, tanda-tanda memburuknya ekonomi sudah didahului pada 2022 ini akibat pecahnya perang Rusia-Ukraina dan kenaikan suku bunga yang terjadi di berbagai negara-negara maju.
Negara-negara G20 juga tidak lepas dari dampak turbulensi ekonomi global. Rezim ekonomi utama dunia ini juga akan terdampak akibat adanya perlambatan ekonomi di tahun depan.
Ketika para menteri G20 dan gubernur bank sentral berkumpul di Bali pada Juli lalu, mereka menghadapi prospek ekonomi global yang telah gelap secara signifikan.
Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dua setengah tahun setelah guncangan Covid, dengan banyak bagian ekonomi dunia masih berjuang melawan pandemi, putaran guncangan baru telah memperumit lanskap kebijakan.
Ekonomi negara maju diproyeksikan tumbuh hanya 1,7% pada 2022 dan 1,0% pada 2023. Rata-rata, ini 0,5 poin di bawah periode pra-Covid dan 0,9 persen di bawah rata-rata pra-krisis 2008.
Sementara peningkatan inflasi global telah memicu kekhawatiran tentang overheating ekonomi di beberapa negara.
Diproyeksi Makin Tinggi, Negara G20 Sebaiknya Tekan Inflasi
Inflasi kini membayangi sejumlah ekonomi mapan akibat aksi hawkish bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga. Tercatat bulan lalu, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis point (bps) ke kisaran 3%-3,25%.
Proyeksi yang dibagikan kepada 19 stakeholder di Dewan Federal Reserve terkait suku bunga bulan depan menunjukkan Fed berada di jalur menaikkan suku bunga keempat berturut-turut sebesar 75 basis poin.
Lembaga Goldman Sach meramalkan The Fed akan tetap hawkish dengan menaikkan suku bunga 75bp pada November, kenaikan 50bp pada Desember, dan kenaikan 25bp pada Februari 2023 dengan FFR mencapai puncak di angka 4,5-4,75%.
Aksi hawkish The Fed ini memang sengaja dilakukan untuk membuat jurang inflasi yang mendalam. Sayangnya, kondisi inflasi yang diharapkan tidak sesuai harapan bank sentral itu.
AS baru saja merilis data tenaga kerja yang menunjukkan masih kuatnya pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam. Secara tak terduga, pengangguran AS turun menjadi 3,5% yang merupakan level terendah dalam lima dekade terakhir.
Sebagai tambahan, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan data Nonfarm Payrolls (NFP) naik 263.000 pada September 2022.
Data NFP ini menggambarkan kuatnya pasar tenaga kerja AS. Hal ini tidak hanya menopang belanja konsumen tetapi juga mendorong pertumbuhan upah. Hal ini memupus harapan The Fed untuk mengurangi pertumbuhan upah dan meningkatkan inflasi.
Di sebagian besar negara G20 lain, inflasi juga tercatat menguat. Salah satu yang tertinggi adalah Turkiye. Mengutip Trading Economics, tingkat inflasi tahunan di Turki naik selama 16 bulan berturut-turut menjadi 83,5% pada September 2022. Padahal negara ini sempat menikmati pertumbuhan ekonomi progresif di bawah kepemimpinan presiden Erdogan.
Angka ini menjadi yang tertertinggi sejak Juli 1998, karena mata uang Lira terperosok dan bank sentral Turkiye, Türkiye Cumhuriyet Merkez Bankası (TCMB), terus memangkas suku bunga.
Sektor perumahan dan utilitas mengalami lonjakan harga hingga 84,7% di Turkiye. Transportasi melonjak 117,7 %, dan kenaikan harga energi juga tak terbendung mengalami inflasi133%. Biaya makanan dan minuman non-alkohol juga mengalami inflasi sebesar 93,1 %. (Lihat tabel di bawah ini.)
Indonesia sendiri juga masih mengalami ancaman inflasi yang diramalkan akan tetap naik. Tingkat inflasi tahunan Indonesia meningkat menjadi 5,95% pada September 2022 dari 4,69% pada bulan Agustus. Angka ini menjadi level tertinggi sejak Oktober 2015 dan di bawah perkiraan pasar sebesar 6%.
Tingkat inflasi ini bahkan di atas target Bank Indonesia (BI) sebesar 2 hingga 4% dalam empat bulan berturut-turut. Tekanan inflasi utama berasal dari biaya makanan sebesar 7,91%, transportasi 16,01%, perumahan 3,19%, makanan & restoran 4,53%, pendidikan 2,61% dan sandang 1,56%.