Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia menawarkan peluang kolaborasi kepada China. Tawaran ini atas dasar besarnya potensi sumber daya Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang dimiliki oleh Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kayan (13.000 MW) dan Mamberamo, Papua (24.000 MW).
“Ini sebuah potensi yang kita tawarkan ke China untuk bisa berkolaborasi bersama. Ini tidak mungkin kita lakukan sendiri,” tutur Bahlil.
Aspek lain yang menjadi fokus pemerintah di masa mendatang adalah keberadaan hilirisasi yang berorientasi green energy dan green industry.
“Kunci dari implementasi kebijakan ini adalah keberadaan listrik,” dia menambahkan.
Untuk itu, berdasarkan roadmap transisi energi, pemerintah Indonesia menerapkan strategi menuju karbon netral dari sisi suplai, seperti fokus pada pembangkit listrik tenaga surya, hidro, panas bumi, dan hidrogen.
Di samping itu, langkah lain yang diambil adalah penghentian pembangkit listrik batu bara secara bertahap, dan penggunaan teknologi rendah emisi, yaitu teknologi CCS/CCUS.
Sementara dari sisi demand, antara lain pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemanfaatan biofuel, dan penerapan manajemen energi.
Bagi Indonesia, kemampuan mencapai NZE di 2060 harus tetap mempertimbangkan konteks dan kondisi nasional di masing-masing negara. Misalnya, Indonesia masih mengoptimalkan pengembangan energi fosil selaras dengan kemajuan masif pembangunan infrastruktur energi bersih.
“Kita sedang mengkaji, memperhitungkan, dan mengkalkulasi tentang kebutuhan (energi) dalam negeri dengan geopolitik ekonominya,” kata Bahlil.