IDXChannel - Indonesia perlu terus memperkuat fondasi industri petrokimia sebagai bagian dari strategi meningkatkan kemandirian industri sekaligus menurunkan ketergantungan atas impor bahan baku yang terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir.
Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyusun Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Industri Petrokimia 2025-2045. Sektor petrokimia memiliki peran strategis dalam menopang pertumbuhan berbagai industri hilir, mulai dari plastik, farmasi, kimia dasar, hingga komposit untuk kebutuhan industri penerbangan masa depan.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia masih dibayangi defisit besar pada komoditas petrokimia. Defisit pada 2020 tercatat sebesar 7,32 juta ton (USD7,1 miliar), kemudian meningkat menjadi 8,10 juta ton (USD10,8 miliar) pada 2021.
Pada 2022, defisit berada di level 7,75 juta ton (USD11 miliar), dan kembali naik menjadi 8,50 juta ton (USD9,5 miliar) pada 2023. Tren ini berlanjut pada 2024 ketika defisit melonjak menjadi 10,5 juta ton (USD11 miliar). Peningkatan defisit menggambarkan betapa besarnya kebutuhan bahan baku yang belum mampu dipenuhi oleh kapasitas produksi dalam negeri.
Dokumen Inaplas juga mencatat bahwa tekanan terhadap industri petrokimia global semakin kuat akibat berbagai dinamika internasional, seperti pandemi Covid-19, perang Rusia–Ukraina, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, kebijakan tarif Amerika Serikat, kampanye negatif terhadap plastik, percepatan transisi energi hijau, hingga melemahnya kinerja manufaktur global.
Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono mengatakan, kenaikan defisit bahan baku petrokimia bukan hanya menjadi beban bagi industri hulu, tetapi juga menghambat pertumbuhan industri hilir yang membutuhkan pasokan stabil dengan harga kompetitif.
"Kondisi defisit yang kita hadapi setiap tahun menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap impor sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Industri hilir kita tumbuh pesat, sementara kapasitas hulu belum mengikuti. Karena itu, roadmap 2025-2045 menjadi sangat penting sebagai panduan akselerasi pembangunan industri petrokimia nasional," kata Fajar dalam keterangan resmi, Sabtu (15/12/2025).
Dia juga menekankan bahwa roadmap tersebut tidak semata fokus pada peningkatan kapasitas produksi, tetapi juga pada penguatan integrasi antara refinery dan cracker sehingga Indonesia mampu menghadirkan produk petrokimia yang lebih kompetitif, menghemat devisa, dan memperkuat struktur industri secara menyeluruh.
Roadmap pengembangan tersebut memetakan empat fase strategis pembangunan industri petrokimia nasional. Pada fase pertama tahun 2025, fokus diarahkan pada pemulihan kapasitas produksi dan penyelesaian proyek kilang seperti RDMP serta pembangunan cracker kedua, mengingat tekanan global yang masih cukup berat.
Memasuki 2030, Indonesia ditargetkan mencapai kecukupan pasokan melalui pembangunan cracker ketiga, fasilitas GRR baru, pembangunan Condensate Splitter Unit, serta penerapan energi hijau untuk menurunkan ketergantungan impor.
Selanjutnya pada 2035, Indonesia bersiap memasuki fase pengembangan produk bernilai tambah tinggi, termasuk engineering plastic yang menjadi bahan utama komposit untuk industri pesawat masa depan. Tren global memperkirakan bahwa pesawat komersial generasi baru pada 2040 akan menggunakan komposit plastik hingga 60 persen dari total berat struktur pesawat.
Pada 2045, tahap akhir roadmap menargetkan terwujudnya integrasi penuh antara kilang dan petrokimia sehingga Indonesia tidak hanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan domestik, tetapi juga mengekspor produk akhir bernilai tinggi.
"Integrasi refinery dan petrokimia akan memberikan keuntungan besar bagi negara. Biaya logistik turun, produk lebih kompetitif, dan kita bisa mengurangi devisa impor yang selama ini membebani neraca perdagangan. Itu sebabnya pembangunan GRR dan cracker baru menjadi prioritas dalam roadmap," ujar Fajar.
Kebutuhan bahan baku plastik nasional pada 2025 diperkirakan mencapai 8.383 kiloton, sementara produksi domestik baru sekitar 4.875 kiloton. Kondisi ini membuat Indonesia masih harus mengimpor sekitar 1.089 kiloton produk plastik jadi.
Di sisi lain, Indonesia menghasilkan sekitar 1.992 kiloton sampah plastik setiap tahun dengan potensi material daur ulang mencapai 1.772 kiloton, di mana sekitar 1.292 kiloton telah masuk ke rantai daur ulang. Angka tersebut menunjukkan peluang besar bagi pengembangan industri chemical recycling untuk memperkuat ekonomi hijau dan keberlanjutan.
Fajar menegaskan bahwa industri petrokimia merupakan fondasi penting bagi daya saing manufaktur Indonesia.
"Kalau kita ingin menjadi negara industri maju pada 2045, kita tidak punya pilihan selain membangun industri petrokimia yang kuat, terintegrasi, dan mandiri. Semua sektor hilir, otomotif, elektronik, kemasan, tekstil, bahkan aviasi, bergantung pada kesiapan industri hulu ini," ujarnya.
(Rahmat Fiansyah)