Dari sisi industri, menurutnya pengembangan PLTP di dalam negeri sangat lambat, padahal secara teknis umum, proses eksplorasi dan eksploitasinya sangat mirip dengan migas, yakni pengeboran.
“Padahal Pertamina ahli dalam hal ini, tapi kenapa sulit untuk mengembangkan bisnis geothermal-nya,” ungkap Kurtubi.
Menurut Kurtubi, Indonesia dapat mencontoh Islandia yang berhasil mengembangkan bisnis geothermal dengan optimal sehingga dapat menguntungkan. “Saya melihat seharusnya ada investasi untuk meningkatkan kualitas SDM-nya sehingga dapat mengembangkan teknologi dan berdampak pada efisiensi.”
Dalam laporan keuangan PGEO dipaparkan bahwa operasional PLTP Karaha terus membukukan kerugian yang mendalam dengan mencatatkan rugi tahun berjalan sepanjang medio 2020 – 2022 masing-masing sebesar USD13,73 juta, US$12,52 juta, dan USD9,74 juta.
Hal ini diakibatkan oleh beban pokok pendapatan PLTP Karaha yang tinggi dengan nilai mencapai USD15,06 juta pada 2020, USD16,24 juta pada 2021 dan USD15,44 juta pada 2022.
Sedangkan, pendapatan usaha hasil penjualan listrik dari PLTP Karaha pada periode yang sama hanya sekitar USD7,32 juta, USD6,94 juta, dan USD7,05 juta.
Dengan begitu, rasio biaya terhadap pendapatan (BOPO) PLTP Karaha senilai 205,74%, 234%, dan 219,01%. Padahal BOPO yang baik, maksimal 85-85%.
Melansir laman resmi PGEO, PLTP Karaha Unit I berkapasitas 30 MW yang telah beroperasi secara komersil pada 6 April 2018. Adapun total investasi pembangkit listrik milik anak usaha Pertamina tersebut mendekati US$200 juta. (RRD)