Menurutnya, pemerintah yang telah mencanangkan program 35.000 MW perlu mencari jalan keluar yang terbaik, setelah tidak terserapnya pasokan listrik. Apalagi, rencana pembangunan pembangkit 35.000 MW menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen per tahun.
Sayangnya, akibat pandemi COVID-19 dan serangkaian dinamika global, realisasi pertumbuhan ekonomi masih berkutat pada 5 persen.
“Pemerintah juga telah menyepakati RUPTL 2021-2030, itu saja yang seharusnya disepakati untuk mendorong penggunaan EBT. Kalau menggunakan skema power wheeling jelas menambah beban negara. Ditambah lagi, di situ juga ada isu liberalisasi,” tegasnya.
Agus juga menekankan, skema power wheeling yang diterapkan di negara lain tidak bisa semata-mata langsung bisa diimplementasikan di Tanah Air.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi juga menyoroti soal power wheeling ini yang menurutnya bentuk liberalisasi kelistrikan lantaran pembangkit EBT swasta boleh menjual langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN karena berkonsep multi buyers-multi sellers (MBMS).