Utang Luar Negeri Indonesia Menyusut, Ekonom: Hanya Sementara

IDXChannel - Total nilai Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2022 tercatat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), posisi ULN Indonesia hingga akhir April 2022 tercatat sebesar US$409,5 miliar, turun signifikan dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya yang masih sebesar US$412,1 miliar.
Penurunan terutama terjadi akibat penurunan posisi ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral). Secara tahunan, posisi ULN April 2022 terkontraksi 2,2 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi bulan sebelumnya sebesar satu persen (yoy).
Meski berhasil menurunkan nilai utang luar negeri, torehan kinerja pemerintah tersebut rupanya belum mendapatkan apresiasi dari kalangan pengamat ekonomi. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira, misalnya, yang menilai bahwa penurunan ULN yang terjadi saat ini hanya sementara dan akan kembali meningkat pada tahun 2023 mendatang.
"ULN yang turun saat ini hanya temporer. Tahun depan akan kembali naik. Masalah muncul ketika harga batubara dan sawit mulai alami kontraksi pada periode Juni, sehingga mempengaruhi windfall pajak dan penerimaan negara bukan pajak (pnbp). Di saat bersamaan, tekanan pembiayaan baru lahir dari kenaikan beban subsidi dan belanja rutin," ujar Bhima, kepada MNC Portal, Minggu (26/6/2022).
Selain itu, Bhima menjelaskan bahwa terdapat tiga risiko yang akan membuat kenaikan ULN terjadi secara eksesif tahun 2023. Pertama yaitu tren kenaikan suku bunga secara global akan meningkatkan bunga utang luar negeri pemerintah.
"Ketika Fed rate naik agresif, maka investor pemegang surat utang berharap pemerintah naikkan kupon surat buna negara (SBN). Dimana Bunga pasar SBN diperkirakan dapat menembus sembilanm persen," tutur Bhima.
Sementara risiko kedua, menurut Bhima, yaitu terkait dengan pembelajaran pemerintah perihal pendanaan pemilu dan penyelesaian proyek infrastruktur.
"Dimana belanja pemerintah yang berkaitan dengan pendanaan pemilu, penyelesaian proyek infra sebelum 2024 akan menekan ruang fiskal. Gap defisit akan didanai oleh utang," katanya.
Sedangkan risiko ketiga disebut Bhima terkait pelemahan nilai tukar akibat tekanan eksternal mengakibatkan selisih kurs dimana sebagian besar pendapatan pemerintah bersumber dari dalam negeri sementara pembayaran cicilan pokok dan bunga dalam bentuk valas. (TSA)