Pak Lo terjun ke pasar modal sebagai investor di usia 30 tahun. Perjalanan investasinya pun tidak langsung membuatnya untung seketika, dia pernah merugi sebelum akhirnya sukses besar dari UNTR.
Saat krisis moneter melanda Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, banyak investor angkat kaki dari Bursa Efek Indonesia. Saat itu nilai tukar rupiah meroket dari Rp2.000-an menjadi Rp15.000 per dolar AS, selain itu inflasi juga mencapai 78 persen.
IHSG pun tak kalah mengenaskan, banyak investor yang merugi karena nilai saham yang jeblok serentak. Termasuk Pak Lo sendiri. Namun bukannya menyerah, dia justru mengerahkan semua sisa modal miliknya untuk membeli 6 juta saham UNTR.
Saat itu harga saham UNTR terdiskon menjadi Rp250/saham. Saat itu jumlah saham beredar UNTR mencapai 138 juta lembar, dengan nilai total aset Rp3,8 triliun, yang artinya kapitalisasi pasar UNTR jeblok hanya Rp34,5 miliar.
Padahal UNTR adalah perusahaan yang mampu mencatatkan laba usaha hingga triliunan rupiah, angka yang impresif untuk era 1990-an. Namun karena nilai tukar yang meroket, UNTR harus mencatatatkan kerugian karena transaksinya menggunakan dolar AS.