IDXChannel—Kisah inspiratif yang tepat dibagikan dalam perayaan Hari Perempuan Internasional adalah tentang Butet Manurung, aktivis dan antropolog yang mendalangi penyediaan pendidikan untuk anak-anak rimba di suku pedalaman Indonesia.
Perjuangan Butet memberikan pendidikan kepada anak-anak rimba sudah dibukukan, ditulis oleh Butet sendiri, dan telah difilmkan oleh Riri Riza dengan judul ‘Sokola Rimba’, diperankan oleh Prisia Nasution.
Butet adalah salah satu perempuan yang berjasa besar pada peningkatan literasi di komunitas suku-suku pedalaman Indonesia. Ia berkelana dari hutan ke hutan untuk mengajari anak-anak rimba baca tulis, hal sederhana yang berdampak besar bagi hidup masyarakat adat.
Perjalanan Butet dimulai pada 1999, dan ia bersama rekan-rekannya mulai menyusun kurikulum pendidikan yang untuk diajarkan ke anak-anak rimba. Sejak saat itulah, Sokola Rimba bergerak dan berkembang hingga saat ini.
Bagaimana perjalanan Butet menyebarluaskan pendidikan di masyarakat adat? Simak kisahnya berikut ini.
Kisah Inspiratif Butet Manurung: Berkelana di Hutan Demi Anak-Anak Rimba
Butet Manurung bernama asli Saur Marlina Manurung, terlahir pada 21 Februari 1971. Ia merupakan lulusan Universitas Padjajaran,Australian National University, dan pernah mengikuti kursus di Harvard University.
Ia pernah bekerja dalam proyek konservasi bersama LSM Warsi pada 1999. Sepanjang studi dan pekerjaannya, ia dekat dengan masyarakat adat di penjuru Indonesia. Saat ia bergabung dengan Warsi itulah, Butet mulai menyusun program pendidikan untuk masyarakat rimba di bermukim di hutan Bukit Duabelas, Jambi.
Materi ajarnya sederhana, yakni baca dan tulis. Mengenalkan huruf dan angka pada anak-anak rimba. Hal ini terkesan sepele bagi masyarakat modern, namun berarti besar bagi masyarakat adat yang jauh dari peradaban ramai, tak tersentuh modernisasi.
Saat itu, banyak orang-orang rimba yang buta huruf, sehingga seringkali dicurangi banyak pihak yang berupaya mengeruk keuntungan dari hutan yang mereka tinggali. Mulai dari perusahaan, komunitas keagamaan, bahkan masyarakat setempat sendiri.
Mengajari baca tulis ke anak-anak rimba memungkinkan mereka untuk membela diri saat menghadapi pihak luar yang hendak berurusan dengan area tempat tinggal mereka. Dilansir dari Times Asia (8/3), Butet tinggal selama berbulan-bulan di hutan Bukit Duabelas memberi pengajaran kepada anak-anak rimba.
Upayanya tak setiap saat disambut dengan baik oleh para orangtua. Dalam cuplikan film Sokola Rimba, salah seorang ibu dari anak-anak rimba berkata, “Aku tidak mau anakku belajar. Kalau dia ikut belajar, nanti dia pergi dan tidak kembali lagi.”
Butet juga pernah terancam dikeluarkan dari komunitas akibat tekadnya untuk mengajari anak-anak rimba. Namun ia bertahan, dan terus mengajari mereka berbekal dengan papan tulis kecil dan kapur.
Selama tinggal di hutan bersama masyarakat adat, Butet tak segan-segan berbaur. Tak malu berpakaian sehelai kain dan bergabung dengan penduduk suku setempat. Tampilannya ini pernah direkam dan tayang di televisi pada awal 2000an.
Salah satu muridnya yang merupakan anak kepala desa, terbukti mampu menunjukkan ketidakakuratan dalam kontrak tertulis tentang sengketa wilayah. Dari situlah, ia akhirnya mendapatkan dukungan dari kepala desa.
Pada Times ia mengaku, menjadi konservator adalah hal yang sia-sia. Sebab hutan pada akhirnya akan terus tergerus luasannya dalam 20 tahun ke depan. Wawancara ini dilakukan oleh Times pada 2004, yang artinya, saat itu Butet masih berkelana di dalam hutan.
“Saya mau realistis saja, daripada meromantisasi,” tuturnya.