IDXChannel – Bursa saham global merah membara di awal pekan, terpantik pidato Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) Jerome ‘Jay’ Powell. Tertular dari Wall Street, bursa Asia-Pasifik ramai-ramai terjungkal hari ini.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Senin (29/8), per 10.56 WIB, minus 0,62%. Bahkan, pada awal perdagangan indeks saham acuan RI tersebut sempat minus lebih dari 1%.
Kinerja IHSG pagi ini terjadi seiring amblesnya bursa saham Asia.
Tidak hanya IHSG, indeks saham elite alias blue chip, LQ45, juga melorot 0,71%.
Sebut saja, indeks Nikkei 225 (Tokyo) terjun 2,61%, Hang Seng Index (Hong Kong) minus 0,70%, Shanghai Composite Index (Shanghai) turun 0,14%, dan Straits Times Index (Singapura) terjungkal di teritorial negatif (-0,97).
Sementara, pada Jumat pekan lalu (26/8), dari pasar AS, Dow Jones ambrol 3,03%, S&P 500 Index merosot tajam 3,37%, dan indeks sarat saham teknologi Nasdaq tergerus 3,94%. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sebelumnya, mengutip Bloomberg, Senin (29/8), sinyal dari Jay Powell--lewat pidato di konferensi Jackson Hole pada Jumat lalu--soal potensi kenaikan suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama mulai terasa dampaknya di pasar hari ini.
Selain bursa saham dan futures Wall Street, ucapan Powell tersebut membuat imbal hasil (yield) Treasury AS tenor 2 tahun naik ke level tertinggi yang terakhir terjadi pada 2007.
Yield Treasury tersebut, yang sensitif terhadap ekspektasi pasar terkait kebijakan The Fed, mencapai 3,47%.
Seiring memerahnya pasar saham, indeks spot dolar versi Bloomberg menuju rekor bulan lalu lantaran investor mencari ‘tempat berlindung’ dari volatilitas pasar akhir-akhir ini.
Kemudian, mata uang yang berkaitan komoditas, termasuk yen, pound dan offshore yuan juga berada dalam tekanan hari ini.
Dalam pidatonya pekan lalu di simposium Jackson Hole, Powell mengatakan, Fed mungkin akan terus menerapkan kebijakan moneter ketat untuk beberapa waktu ke depan guna mengekang inflasi yang meninggi.
Dia juga memperingatkan, bank sentral agar tidak melonggarkan kondisi moneter sebelum waktunya.
“Sementara suku bunga yang lebih tinggi, pertumbuhan [ekonomi] yang lebih lambat, dan kondisi pasar tenaga kerja yang lebih lemah akan menurunkan inflasi, hal itu juga akan membawa penderitaan bagi rumah tangga dan bisnis,” kata Powell.
“Ini adalah biaya yang tidak menguntungkan demi menekan inflasi. Namun, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menciptakan penderitaan yang jauh lebih besar,” lanjut Powell.