IDXChannel—Apa itu window dressing? Secara sederhana, window dressing adalah praktek mempercantik laporan atau data keuangan, sehingga kinerja investasi atau perusahaan tampak lebih baik dari yang sebenarnya di mata investor.
Istilah fenomena ini berasal dari strategi pemasaran yang kerap dilakukan pengusaha ritel, yakni ‘dressing up a window display’, di mana pemilik usaha akan memamerkan beberapa item dari katalognya untuk dipajang di jendela toko.
Window dressing pun memiliki makna yang sebenarnya sama, yakni memperindah tampilan produk agar tampak meyakinkan. Sehingga investor tertarik untuk menempatkan modal, atau setidaknya, tidak kehilangan minat untuk mempertahankan porsi kepemilikannya.
Dilansir dari MNCSekuritas.id (5/7), window dressing biasanya dilakukan oleh manager investasi dan emiten untuk mempercantik tampilan portofolio dan performa laporan keuangannya. Fenomena ini juga umumnya terjadi pada akhir tahun.
Window dressing yang dilakukan para manajer investasi biasanya berlangsung pada akhir tahun. Para manajer investasi tentu ingin meningkatkan nilai saham yang dimilikinya agar kinerja portofolionya tampak baik sebelum penutupan tahun.
Sementara di kalangan emiten, window dressing biasanya dilakukan pada tiap periode laporan keuangan, yakni pada akhir kuartal (Maret, Juni, September, Desember). Namun demikian, dampak window dressing yang dilakukan emiten justru terasa pada bulan-bulan berikutnya.
Praktik window dressing paling signifikan terjadi di akhir tahun, biasanya harga saham akan menguat hingga bulan Januari. Fenomena ini kerap disebut sebagai ‘January Effect.’
Bagaimana Window Dressing Dipraktekkan di Dunia Pasar Modal
Dilansir dari Investopedia (5/7), praktek usaha ini dinilai tidak etis, apa pun jenis industri dan tujuannya. Sebab window dressing berarti memberikan gambaran yang salah secara disengaja untuk pencitraan yang lebih baik.
Seperti yang disebut di atas, window dressing dilakukan oleh manajer investasi dan emiten. Kedua pihak tersebut memakai metode yang berbeda untuk mengakali laporan performa investasi dan keuangannya.
Pada reksadana, para manager investasi biasanya bakal menjual saham dengan performa terburuk, lalu membeli saham-saham bagus mendekati akhir tahun, lantas membuatnya seolah-olah saham-saham bagus itu sudah ada dalam portofolionya sejak lama.
Manager investasi dibayar untuk mengelola dan memastikan bahwa dana kelolaan milik investor menghasilkan performa dan return yang baik. Jika portofolio investasinya tidak mencetak performa bagus, para investor bisa saja memindahkan dananya ke instrumen investasi lain. Window dressing adalah strategi yang digencarkan untuk mencegah hal ini terjadi.
Sementara di kalangan emiten, perusahaan terbuka diharuskan membuat laporan keuangan dengan standar tertentu untuk memenuhi persyaratan keterbukaan informasi. Dalam setiap pencatatan kinerja, selalu ada kemungkinan manajemen dan eksekutif tidak puas dengan hasil kinerja laporan keuangan perusahaannya.
Laporan keuangan yang buruk akan membuat investor dan pemberi dana kehilangan minat untuk berinvestasi. Pemberi modal menggunakan laporan keuangan untuk membuat keputusan sebelum menyalurkan pinjaman, sementara investor menggunakan laporan keuangan untuk mengambil keputusan investasi.
Untuk memperindah laporan keuangannya, ada beberapa metode digunakan emiten, yakni cash window dressing; capitalization window dressing; fixed asset window dressing; dan expenses window dressing.
Cash window dressing dilakukan dengan cara membayar para supplier setelah periode pembukuan laporan keuangan berakhir agar catatan arus kas kelihatan lebih menarik. Expenses window dressing dilakukan dengan mencatatkan invoice supplier di periode pembukuan selanjutnya untuk mengurangi bobot liabilitas dalam neraca.
Pada pasar modal, fenomena ini menggerakkan harga saham sebesar 5-10% dalam satu hari perdagangan. Selain itu, window dressing juga kerap terjadi pada saham-saham penggerak utama IHSG.
Demikianlah ulasan singkat tentang window dressing, strategi pencitraan di dunia pasar modal. (NKK)