IDXChannel – Harga saham emiten bank besar banyak dilego oleh investor, termasuk asing. Investor tampaknya masih khawatir terkait dengan inflasi yang meninggi serta menunggu arah kebijakan Bank Indonesia (BI) atas suku bunga acuan.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, terdapat empat bank besar yang anjlok selama sebulan. Emiten bank tersebut adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
BBNI mencatatkan penurunan harga saham terdalam selama sebulan dibanding emiten-emiten lainnya. Adapun per Rabu (6/7) pada sesi I, performa saham emiten ini terperosok hingga minus 15,56 persen. Sementara harga sahamnya pada periode yang sama sebesar Rp7.225/saham.
Harga saham BMRI juga terpantau anjlok selama sebulan menyentuh minus 11,01 persen. Sedangkan pada perdagangan Rabu (6/7) sesi I, harga saham emiten ini mencapai Rp7.425/saham.
Menyusul dua emiten bank lainnya. BBRI dan BBCA juga mengalami penurunan harga saham dalam sebulan. Adapun persentase penurunan kedua emiten tersebut masing-masing minus 9,62 persen dan minus 4,61 persen.
Meski demikian, saham emiten-emiten bank ini sempat melesat pada awal tahun 2022. BMRI misalnya, yang mencatatkan harga saham tertinggi mencapai Rp8.950/saham di bulan Mei lalu.
Sementara harga saham BBCA juga melesat pada April lalu menyentuh Rp8.200/saham. Selain itu, masih di bulan yang sama, BBNI juga mencatatkan harga saham tertinggi sebesar Rp9.600/saham.

Sumber: Tim Riset IDX Channel, Bursa Efek Indonesia (BEI), Juli 2022 (data olahan) | *net buy selama sebulan
Merosotnya harga saham emiten bank besar disertai dengan aksi jual oleh investor asing. Menurut data BEI, asing melakukan penjualan bersih (net sell) terhadap BBCA sebesar Rp2,24 triliun dalam sebulan terakhir di pasar reguler.
Selain BBCA, saham BBRI dan BBNI juga ikut dilego oleh asing selama sebulan. Adapun net sell kedua emiten bank tersebut masing-masing mencapai Rp2,08 triliun dan Rp736,67 miliar.
Meski emiten bank sedang ramai-ramai dilego oleh investor asing, BMRI menjadi emiten yang mencatatkan pembelian bersih (net buy) dalam sebulan terakhir. Adapun net buy BMRI selama sebulan mencapai Rp636,24 miliar.
Asing juga melego saham-saham RI di pasar reguler selama tiga belas hari beruntun sejak 17 Juni lalu. Dalam sepekan, asing membukukan net sell Rp2,00 triliun dan dalam sebulan mencapai Rp6,57 triliun di pasar reguler.
Tone global yang cenderung negatif soal kenaikan suku bunga di tengah inflasi yang meninggi di negara-negara utama--yang pada gilirannya memicu potensi stagflasi (inflasi tinggi dibarengi perlambatan ekonomi)--masih menghantui mood investor untuk berinvestasi di aset berisiko macam saham.
Inflasi RI yang meninggi sejak 2017 juga turut menjadi perhatian investor. Pada Jumat, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, bulan Juni 2022 terjadi inflasi tertinggi (year to year) sebesar 4,35% terhitung sejak Juni 2017.
Angka inflasi tahunan RI per Juni lebih tinggi dari konsensus ekonom yang dikutip dari Tradingeconomics yang memproyeksikan kenaikan inflasi ke angka 4,17%.
Sektor Bank Masih Overweight
Riset Mirae Asset bertajuk Banking Sector Update May 2022 yang diterbitkan pada Selasa (5/7/2022) menunjukkan, terjadi pelambatan pertumbuhan kredit di seluruh industri menjadi 9 persen secara year on year (yoy) pada Mei 2022.
Adapun sektor keuangan, real estat, dan manufaktur menunjukkan pertumbuhan pinjaman sekitar 11-15 persen secara tahunan.
Menurut riset tersebut, deposito juga tercatat tumbuh hingga 9,9 persen yoy didorong oleh giro dan tabungan.
Selain itu, tercatat empat emiten bank besar yang membukukan pertumbuhan pendapatan yang stabil pada Mei 2022.
Riset tersebut juga mencatat, Hasil run rate BBRI, BMRI, dan BBNI berada di atas perkiraan konsensus, sementara BBCA sejalan dengan perkiraan konsensus.
BBRI berhasil memperoleh pendapatan tertinggi di bulan Mei didukung oleh pendapatan bunga dan non bunga yang menguat dan efisiensi beban bunga. Sedangkan laba bersihnya melonjak 106,6 persen yoy menjadi Rp19,1 triliun.
BBCA juga mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 35,4 persen secara yoy menjadi Rp14,4 triliun yang didorong oleh pembalikan biaya provisi sebesar Rp220 miliar di bulan Mei.
Di samping itu, BMRI juga membukukan laba bersih sebesar R15,5 triliun atau meningkat 65,3 persen secara yoy. Meningkatnya pendapatan emiten ini di bulan Mei didoring oleh efisiensi biaya perusahaan (opex).
Terakhir yakni BBNI yang pendapatan bunga bersihnya meningkat pada bulan Mei 2022. Adapun laba bersihnya tercatat naik hingga 65,4 persen secara yoy menjadi Rp7,3 triliun.
Kendati demikian, pertumbuhan pendapatan non bunga BBNI melambat diiringi dengan penurunan biaya provisi bulanan.
Dalam riset tersebut tertulis, melihat kinerja keuangan perbankan pada Mei 2022 dan latar belakang ekonomi makro Indonesia, analis memiliki pandangan optimis terhadap sektor ini meski tingkat inflasi tahunan Indonesia ikut naik ke level tertinggi dalam 5 tahun sebesar 2-4 persen.
“Jika BI akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan berikutnya di bulan Juli, kami yakin langkah tersebut akan diapresiasi oleh pasar,” tulis riset tersebut.
Terkait likuiditas, bank dinilai lebih siap untuk menghadapi kenaikan suku bunga. Sedangkan kualitas pinjaman beberapa peminjam akan memburuk jika suku bunga naik, mengingat banyak bisnis baru yang baru saja pulih pasca pandemi.
Di samping itu, pertumbuhan kredit juga terdampak negatif dari kenaikan bunga. Terlepas dari gejolak pasar, harga saham emiten bank besar tetap potensial meski sedang terpukul.
“Dengan demikian, kami mempertahankan sikap overweight kami di sektor perbankan, terutama untuk jangka panjang investor,” sebagaimana dikutip dalam riset Mirae Asset.
Informasi saja, overweight adalah saham yang diprediksi akan naik lebih dari saham lainnya di sektor yang sama.
Adapun terdapat berbagai risiko yang mempengaruhi seperti pembatasan mobilitas, meningkatnya inflasi, melambatnya pertumbuhan kredit, hingga aset yang memburuk. (ADF)
Periset: Melati Kristina
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.