IDXChannel - Pemerintah akan mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai semester II-2025. Kebijakan ini dilakukan untuk mengendalikan konsumsi gula berlebih di masyarakat, selain mengejar penerimaan negara.
Pemerintah saat ini fokus terhadap penyusunan peraturan teknis melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum menerapkan cukai MBDK.
"Hal ini tentu saja menjadi sentimen negatif untuk sektor konsumer, khususnya emiten dengan produk minuman berpemanis, seperti MYOR, ULTJ, dan CMRY," tulis riset Panin Sekuritas, Selasa (4/1/2025).
Menurut riset tersebut, dampak negatifnya lebih kepada profitabilitas perusahaan di tengah menurunnya daya beli hingga konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang diketahui bukan suatu barang primer (utama).
"Oleh karena itu, dampaknya lebih kepada penurunan sales volume jika cukai tersebut di pass on kepada end consumer," ujarnya.
Hingga pukul 09.27 WIB, saham PT Mayora Indah Tbk (MYOR) turun 1,18 persen ke Rp2.520. Pun dengan saham PT Cisarua Mountain Dairy Tbk (CMRY) anjlok 5,84 persen di Rp4.680. Sedangkan saham PT Ultra Jaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) stagnan di Rp1.600.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, penerapan cukai MBDK tersebut tidak hanya semata-mata mengejar penerimaan negara, melainkan untuk mengendalikan konsumsi gula berlebih di masyarakat.
"Target 2025 memang naik, itu terkait juga di UU APBN 2025 dinyatakan MBDK. Itu direncanakan kalau sesuai jadwal semester II-2025," ujar Nirwala dalam Media Briefing DJBC di Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Sementara itu, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Akbar Harfianto menjelaskan, meski pengenaan cukai MBDK dijadwalkan pada semester II-2025, namun DJBC akan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat.
Sembari menunggu implementasinya, pemerintah sedang menyiapkan aturan pelaksanaannya, baik dalam Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Sambil menunggu tadi, apakah memang dari kondisi daya beli masyarakat ini sudah cukup bisa atau mampu untuk ada penambahan beban," kata Akbar.
(Fiki Ariyanti)