IDXChannel - Bursa Efek Indonesia (BEI) lahir dari peleburan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) pada akhir 2007. Setelah bergabung hingga saat ini, jumlah emiten di BEI mencapai lebih dari 800.
Mundur beberapa tahun ke belakang, sebelum merger terbentuk, bursa efek di negeri ini bermula dengan dibukanya bursa saham oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada 1912.
Namun gangguan Perang Dunia, migrasi kekuasaan dari pemerintah kolonial ke pribumi, dan kondisi lain yang menyertainya mengganggu perkembangan pasar modal negeri ini. Bursa di Jakarta, Surabaya, dan Semarang berulang kali buka-tutup hingga akhirnya vakum lama.
Bursa efek bangkit lagi setelah diaktifkan kembali oleh presiden Republik Indonesia (RI) saat itu, Soeharto pada 10 Agustus 1977. Setelah 46 tahun berlalu, jumlah emiten di BEI saat ini sebanyak 883.
Adapun Jawa Timur (Jatim) menjadi provinsi terbanyak yang memiliki galeri investasi yang didirikan BEI. Saat ini, Jatim memiliki 86 galeri investasi dari 790 galeri investasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hal itu mencerminkan pasar modal di Jatim juga berkembang. Salah satunya terlihat dari jumlah emiten atau pihak utama yang menerbitkan saham di Jatim, di mana hingga akhir tahun 2022, tercatat sebanyak 47 emiten di pasar modal Jatim.
Dari sederet perusahaan asal Jatim yang telah menerbitkan sahamnya di BEI, terdapat sejumlah perusahaan atau emiten besar, bahkan ada yang masuk dalam daftar indeks LQ45, seperti PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Berikut ini lima emiten besar asal Jawa Timur:
1. SMGR
PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) awalnya bernama Semen Gresik didirikan di Gresik, Jawa Timur. Pabrik Semen Gresik diresmikan Presiden Soekarno pada 7 Agustus 1957.
Perusahaan semen ini mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) pada 1991, dengan menawarkan sebanyak 40 juta saham, pada harga Rp7.000 per saham.
Sementara pada penutupan sesi terakhir perdagangan Selasa (8/8/2023), SMGR berada di level Rp6.850 per saham. Adapun kapitalisasi pasarnya mencapai Rp40,63 triliun.
2. GGRM
Gudang Garam adalah produsen rokok kretek yang didirikan oleh Surya Wonowidjojo di Kediri, Jawa Timur pada 26 Juni 1958. Perseroan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya (sekarang BEI) pada 27 Agustus 1990, dengan kode GGRM pada harga Rp10.250 per saham.
Semantara pada penutupan sesi terakhir perdagangan Selasa (8/8/2023), GGRM berada di level Rp25.475 per saham. Adapun kapitalisasi pasarnya Seebsar Rp49,02 triliun.
3. STTP
PT Siantar Top Tbk (STTP) didirikan pada 12 Mei 1987 dan beroperasi secara komersial pada September dua tahun kemudian atau pada 1989. Kantor pusat perseroan berlokasi di Sidoarjo, Jawa Timur.
Pada 16 Desember 1996, perusahaan manufacturing makanan ringan ini mencatatkan sahamnya di BEI, dengan melepas sebanyak 27 juta lembar saham, pada harga Rp2.200 per saham.
Sementara pada penutupan sesi terakhir perdagangan Selasa (8/8/2023), STTP berada di level Rp13.950 per saham. Adapun kapitalisasi pasar perseroan mencapai Rp18,27 triliun.
4. HMSP
Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk atau HM Sampoerna Tbk (HMSP) didirikan pada 27 Maret 1905. Perusahaan yang bergerak di industri tembakau ini memulai kegiatan komersialnya pada 1913 di Surabaya, Jawa Timur.
Perseroan mencatatkan sahamnya d BEI pada 15 Agustus 1990, dengan melepsa sebanyak 27 juta lembar saham pada harga Rp12.600 per saham.
Sementara pada penutupan sesi terakhir perdagangan Selasa (8/8/2023), HMSP berada di level Rp900 per saham. Adapun kapitalisasi pasarnya sebesar Rp104,69 triliun.
5. BJTM
PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM) atau Bank Jatim didirikan dengan nama PT Bank Pembangunan Daerah Djawa Timur pada 17 Agustus 1961. Kantor pusat Bank Jatim berlokasi di Surabaya, Jawa Timur.
BJTM melakukan penawaran umum perdana (IPO) pada 12 Juli 2012, dengan melepas 2.983.537.000 lembar saham pada harga Rp430 per saham.
Sementara pada penutupan sesi terakhir perdagangan Selasa (8/8/2023), BJTM berada di level Rp660 per saham. Adapun kapitalisasi pasarnya senilai Rp9,91 triliun. (RNA)