Bagi Garuda, Wamildan memandang positif atas rencana merger tersebut. Namun, dia menekankan pentingnya kajian yang komprehensif dan prudent terhadap outlook bisnis dan kinerja GIAA.
Kinerja maskapai full-service nasional tersebut terus tertekan dalam beberapa tahun terakhir. Hingga kuartal III-2024, GIAA membukukan rugi bersih USD131,2 juta, lebih besar dari periode yang sama tahun lalu yang rugi USD72,4 juta. Padahal, pendapatannya meningkat dari USD1,7 miliar menjadi USD2 miliar.
Membengkaknya kerugian yang dialami oleh Garuda disebabkan oleh lonjakan pada beban operasional. Salah satunya berasal dari beban pemeliharaan dan perbaikan dari USD273 juta menjadi USD413 juta. Secara umum, beban operasional Garuda naik 19 persen dair USD1,99 miliar menjadi USD2,38 miliar.
Situasi ini diperburuk dengan tingginya utang perseroan yang membuat beban keuangan dalam sembilan bulan pertama mencapai USD374 juta. Posisi utang berbunga perseroan tercatat Rp54 triliun.
Saat ini, ekuitas GIAA juga minus hingga USD1,4 miliar. Artinya perusahaan secara keuangan terbilang bangkrut (technically bankrupt) karena posisi ekuitas negatif dan utang yang menggunung.
(Rahmat Fiansyah)