IDXChannel - Harga komoditas logam saat ini berada dalam tren bullish. Melansir Financial Times (FT) (22/4/2024), kinerja logam-logam industri termasuk tembaga dan seng telah mengungguli saham-saham global di 2024.
Meroketnya harga komoditas logam ini karena adanya tanda-tanda kebangkitan permintaan dari produsen utama dunia China dan kekhawatiran atas ketatnya pasokan global.
Dalam laporan FT, indeks yang melacak kinerja enam logam industri di London Metal Exchange (LME) telah naik 8 persen sejak awal 2024. Capaian ini bahkan melampaui kenaikan 6,3 persen pada indeks saham global MSCI pada periode yang sama.
London Metal Exchange Index senditi terdiri dari 6 logam dengan bobot sebagai berikut: aluminim (42,8 persen), tembaga (31,2 persen), seng (14,8 persen), timbal (8,2 persen), nikel (2 persen) dan timah (1 persen).
Bobot keenam logam tersebut diperoleh dari volume produksi global dan rata-rata likuiditas perdagangan selama periode lima tahun sebelumnya.
Harga timbal, aluminium, timah dan nikel, juga telah meningkat tajam sepanjang April 2024 karena investor masih menaruh keyakinan akan tingginya suku bunga global dalam jangka waktu lama.
Logam Timah mengalami kenaikan harga hingga 30,67 persen, tertinggi di antara logam yang lain. (Lihat grafik di bawah ini.)
Per Senin (22/4/2024), harga nikel di London Metal Exchange (LME) kembali melonjak 2,14 persen di level USD19.739 per ton.
Seiring dengan tren kenaikan nikel, harga timah berjangka turun 3,1 persen menjadi USD34.478.
Harga tembaga juga turun 0,47 persen di level USD9.829,5 namun masih berada di level tertinggi. Adapun harga aluminium naik tipis 0,06 persen di level USD2.670,5 per ton.
Selain itu, harga sejumlah komoditas logam industri acuan LME sepeti timbal dan seng masing-masing turun 2,19 persen di level USD 2170 per ton dan turun 0,7 persen di level USD2832 per ton.
Kenaikan ini terjadi karena para analis mengkhawatirkan dampak terbatasnya pasokan dari para penambang.
Pada saat yang sama, para analis mengemukakan kekhawatiran adanya hambatan produksi dari para produsen utama dunia akan membatasi pasokan ke depan.
“Harapan pemulihan permintaan (logam industri) global tahun ini mendukung kenaikan harga,” kata Ewa Manthey, ahli strategi komoditas di ING.
Imbas Permintaan China
Para investor kini juga menyambut baik tanda-tanda awal kembalinya permintaan dari China setelah memburuknya kinerja perekonomian sejak negara tersebut keluar dari kebijakan zero Covid-19 pada Desember 2022.
Ini karena indeks manajer pembelian China terbaru per Maret, memberi sinyal pemulihan sektor manufakur negara tersebut. Perluasan aktivitas pabrik ini terjadi untuk pertama kalinya sejak September 2023.
Pada Maret, pabrik peleburan tembaga China yang memproses lebih dari separuh pasokan logam merah dunia, memulai pengurangan produksi untuk mengatasi kekurangan bahan mentah dalam negeri.
Lembaga keuangan Morgan Stanley memperkirakan produksi tembaga yang ditambang akan turun 0,7 persen tahun ini. Sementara itu lembaga Macquarie pertumbuhan produksi olahan seng akan turun 0,4 persen.
Harga seng di LME juga mencapai level tertinggi sejak April 2023. Begitu juga logam timah, aluminium, dan timbal juga mencapai level tertinggi dalam beberapa bulan pada pekan ketiga April.
Para analis mengatakan optimisme baru terhadap logam sebagian besar disebabkan oleh China. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Badan Cadangan Pangan dan Strategis Nasional China, berencana membeli nikel pig iron, bahan baku utama baja tahan karat.
Namun, menurut Ole Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank, hal ini juga didukung oleh kuatnya data industri dari negara lain.
Institute for Supply Management juga memproyeksikan indeks yang melacak aktivitas pabrik di Amerika Serikat (AS) telah memasuki wilayah ekspansi pada Maret untuk pertama kalinya sejak September 2022.
Selain itu, larangan produk logam Rusia oleh Inggris dan Amerika Serikat (AS) serta meningkatnya tensi konflik di Timur Tengah juga berpeluang menguntungkan komoditas logam industri macam nikel dan tembaga.
Bank of America (BofA) juga menaikkan perkiraan harga logam industri untuk mengantisipasi pengetatan pasokan dan percepatan permintaan, khususnya untuk tembaga.
BofA memperkirakan harga tembaga dan aluminium masing-masing akan naik rata-rata USD12.000 per ton dan USD3.250 per ton pada 2026.
“Kurangnya proyek pertambangan kini menjadi masalah yang semakin besar bagi tembaga. Sementara investasi dalam teknologi ramah lingkungan dan pemulihan ekonomi global akan semakin mengangkat harga tembaga,” kata Michael Widmer, ahli strategi komoditas BofA.
Beberapa investor juga beralih ke sektor komoditas untuk melindungi diri dari inflasi yang berkepanjangan, yang masih belum mencapai target bank sentral.
Sementara itu, Barclays merekomendasikan posisi overweight pada saham-saham pertambangan Eropa, yang akan mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga logam dan geliat manufaktur China.
“Meskipun kami masih memiliki kekhawatiran terhadap China, kami pikir sektor ini bisa dipertimbangkan,” kata Emmanuel Cau, kepala strategi ekuitas Eropa di Barclays.
Melansir lembaga keuangan Citi, komoditas logam juga menjadi ujung tombak kenaikan sektor komoditas pada kuartal kedua 2024, didorong oleh revaluasi harga emas, perak, dan tembaga yang signifikan.
Menurut ahli strategi Citi, kinerja ini sangat mengesankan mengingat sensitivitas logam mulia dan logam industri terhadap kekuatan dolar AS dan guncangan suku bunga. (ADF)