Sementara itu, mengutip MT Newswires, Selasa (22/4), kekuatan permintaan masih diragukan, seiring negara-negara menghadapi dampak dari perang dagang global yang digagas Presiden AS Donald Trump. Termasuk di antaranya adalah tarif sebesar 145 persen atas impor dari China, yang kemudian dibalas dengan tarif 84 persen terhadap barang-barang asal AS.
“Cukup masuk akal untuk berasumsi bahwa perang tarif antara dua ekonomi terbesar dunia tidak akan memburuk lebih jauh. Artinya, apakah AS dan China menaikkan tarif menjadi 150 persen, 250 persen, atau bahkan 500 persen, pada akhirnya perdagangan antar kedua negara kemungkinan akan nyaris terhenti, dan hal ini akan mendorong lonjakan harga konsumen,” demikian kata PVM Oil Associates dalam laporannya.
Pasar global menjadi volatil sejak Trump mengumumkan kebijakan tarif pada 2 April lalu terhadap hampir semua mitra dagang AS.
Kebijakan tersebut diperkirakan memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan memicu inflasi.
Pada Senin (21/4), dolar AS menyentuh posisi terendah dalam tiga bulan terakhir, sementara indeks Dow Jones telah turun 9,6 persen sejak pengumuman tarif bertajuk “Hari Pembebasan” tersebut. (Aldo Fernando)