IDXChannel - Harga minyak dunia ditutup menguat pada Jumat (31/10/2025) setelah sesi perdagangan yang bergejolak.
Harga sempat melonjak setelah laporan media menyebut serangan udara Amerika Serikat (AS) ke Venezuela bisa dimulai dalam hitungan jam. Namun, harga kembali turun setelah Presiden AS Donald Trump membantah kabar tersebut di media sosial.
Kontrak berjangka (futures) Brent ditutup di USD65,07 per barel, naik 0,11 persen. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berakhir di USD60,98 per barel, menguat 0,68 persen pada Jumat.
Dalam sepekan, minyak Brent terkoreksi 0,52 persen dan WTI minus 0,78 persen.
Sementara, kedua kontrak berjangka minyak tersebut mencatat penurunan bulanan ketiga berturut-turut, dengan kekhawatiran berlanjut terkait kelebihan pasokan yang menahan reli harga akibat ketegangan geopolitik.
Sepanjang Oktober, WTI turun 2,2 persen dan Brent merosot 2,9 persen.
“Apakah ini trik atau kejutan ala Donald Trump?” ujar analis senior di Price Futures Group, Phil Flynn, dikutip Reuters.
Ia menyinggung bahwa awal tahun ini Trump juga sempat membantah rencana serangan ke Iran sebelum akhirnya benar-benar melancarkan serangan udara.
“Pasar jelas bereaksi begitu laporan tentang rencana serangan ke Venezuela muncul,” kata Flynn.
Ia menambahkan, “Jika serangan benar terjadi akhir pekan ini, harga minyak bisa melonjak tajam pada Senin.”
AS diketahui telah mengerahkan satu gugus tugas yang dipusatkan di kapal induk terbesar negara itu, Gerald Ford, di lepas pantai Venezuela—jauh melebihi kebutuhan untuk memberantas penyelundupan narkoba yang sebelumnya menjadi fokus operasi Angkatan Laut AS di Karibia.
“Cukup jelas ada sesuatu yang sedang dipersiapkan,” kata Partner di Again Capital LLC, John Kilduff. “Bagi para pelaku pasar minyak, ini situasi klasik: beli dulu, baru bertanya kemudian.”
Sementara itu, dolar AS bertahan di dekat level tertinggi tiga bulan terhadap mata uang utama lainnya, membuat harga komoditas yang dihargakan dalam dolar, termasuk minyak, menjadi lebih mahal bagi pembeli non-AS.
Sumber Reuters menyebut Arab Saudi, eksportir minyak terbesar dunia, kemungkinan menurunkan harga jual minyak mentah untuk pembeli Asia pada Desember ke level terendah dalam beberapa bulan, memberi sinyal pasar yang cenderung bearish.
Harga minyak juga tertekan setelah survei resmi menunjukkan aktivitas manufaktur China menyusut selama tujuh bulan berturut-turut pada Oktober.
Sepanjang Oktober, harga Brent dan WTI turun lebih dari 2 persen, seiring peningkatan produksi dari negara-negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen non-OPEC.
Tambahan pasokan ini juga diperkirakan meredam dampak sanksi Barat yang mengganggu ekspor minyak Rusia ke dua pembeli utamanya, China dan India.
Survei Reuters memperkirakan harga Brent rata-rata di USD67,99 per barel pada 2025, naik sekitar 38 sen dibanding proyeksi bulan lalu, sedangkan WTI diperkirakan rata-rata USD64,83, sedikit di atas perkiraan September sebesar USD64,39.
OPEC+ disebut cenderung menaikkan produksi secara moderat pada Desember, menurut sumber yang mengetahui pembicaraan menjelang pertemuan kelompok tersebut pada Minggu.
Kilduff mengatakan sebagian besar anggota OPEC+ selain Arab Saudi tidak memiliki kapasitas tambahan produksi yang signifikan. “Hampir tidak ada tambahan pasokan berarti selain yang bisa dilakukan oleh Saudi,” ujarnya.
Data Joint Organization Data Initiative menunjukkan ekspor minyak mentah Arab Saudi pada Agustus mencapai 6,407 juta barel per hari, tertinggi dalam enam bulan terakhir. Laporan Badan Informasi Energi AS juga menunjukkan produksi minyak AS mencapai rekor 13,6 juta barel per hari pekan lalu.
Trump pada Kamis menyatakan bahwa China telah sepakat memulai proses pembelian energi dari AS dan kemungkinan terjadi transaksi besar untuk pembelian minyak serta gas dari Alaska.
Namun, sejumlah analis meragukan apakah kesepakatan dagang AS-China tersebut benar-benar akan meningkatkan permintaan China terhadap energi asal AS. (Aldo Fernando)