sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

IHSG di Tengah Guncangan Global, Krisis 1998 hingga Perang Rusia-Ukraina

Market news editor Maulina Ulfa - Riset
08/08/2023 11:55 WIB
Dinamika pasar modal RI tidak terlepas dari faktor eksternal berupa guncangan makro.
IHSG di Tengah Guncangan Global, Krisis 1998 hingga Perang Rusia-Ukraina. (Foto: MNC Media)
IHSG di Tengah Guncangan Global, Krisis 1998 hingga Perang Rusia-Ukraina. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Dinamika pasar modal RI tidak terlepas dari faktor eksternal berupa guncangan makro.

Sejumlah peristiwa telah menjadi saksi bergejolaknya pasar saham, terutama terkait pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (Lihat grafik di bawah ini.)

Beberapa peristiwa penting berdampak signifikan bagi pergerakan IHSG sepanjang tahun, di antaranya:

  1. Krisis Moneter 1997-1998

Pasar modal RI menghadapi tantangan yang cukup berat sejak akhir tahun 1997. Menjelang reformasi 1998, perekonomian Indonesia diguncang oleh hantaman krisis ekonomi yang meluluh-lantahkan seluruh kawasan Asia.

IHSG sempat mengalami kontraksi 29,85 persen di penghujung 1997. Memasuki 1998 masih mengalami kontraksi sebesar minus 9,13 persen.

Krisis ekonomi Asia ditandai dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mengakibatkan tingkat suku bunga deposito dan suku bunga BI naik tajam mencapai level 41,42 persen di tengah meroketnya inflasi sebesar 77,65 persen.

Fluktuasi IHSG bahkan berlanjut hingga 2002 di mana pada tahun tersebut IHSG masih terkoreksi 8,39 persen.

Pada 2007, IHSG mengalami kenaikan 52,08 persen di kisaran mencapai Rp 2.745,83. Faktor yang mempengaruhinya di antaranya beberapa saham perbankan mengalami kenaikan, serta mergernya Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia pada November 2007.

  1. Krisis Ekonomi 2008

Pergerakan IHSG pada tahun berikutnya harus terkontraksi kembali, tepatnya pada 2008 yang mencapai minus 50,64 persen di level Rp 1.355,41.

Penurunan tajam ini terjadi karena adanya krisis finansial global akibat kejatuhan bank-bank besar Amerika Serikat (AS) dampak dari Subprime Mortgage Crisis yang mulai terasa imbasnya menjelang akhir tahun 2008.

Kondisi ini sempat membuat kondisi makro Indonesia mendapatkan tekanan berat meskipun perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,10 persen dan inflasi di level 11,06 persen.

Nilai tukar rupiah yang awalnya sebesar Rp 9.291 pada Januari 2008 naik menjadi Rp 12.151 pada September kemudian turun menjadi Rp 10.950 pada Desember 2008.

Pada tahun 2009, IHSG mulai mengalami kenaikan secara bertahap sebesar 86,98 persen, hal ini dikarenakan rendahnya tingkat inflasi sebesar 2,78 persen dan juga keberhasilan pemilu 2009.

  1. Taper Tantrum 2013

Pada 2013, terjadi sinyal penarikan stimulus atau tapering off oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).

Kondisi ini menimbulkan riak di pasar keuangan di mana kinerja IHSG minus 9,84 persen. Di saat yang sama, rupiah juga melemah mendekati Rp14.500 per dolar AS.

Kondisi ini dikenal dengan istilah periode taper tantrum. Taper tantrum sebenarnya adalah istilah yang digunakan media ekonomi untuk menggambarkan lonjakan imbal hasil surat berharga AS pada 2013 karena pengumuman rencananya The Fed untuk mulai menarik stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi dari USD85 miliar menjadi USD75 miliar.  

Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013. Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik di mana IHSG bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus 2013.  

Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp36 triliun.

  1. Perang Dagang 2018-2019

Kinerja IHSG pada 2018 kembali diuji setelah munculnya wacana Perang Dagang antara China dan AS. Kinerja IHSG 2018 menjadi yang terburuk dalam 3 tahun terakhir yang mencatatkan minus -2,54 persen.

Meski demikian, penurunan indeks pada akhir 2018 masih lebih baik dibanding 2015 yang terkoreksi 12,10 persen dan mencatatkan kinerja terparah pasca 2008.

Sepanjang Januari hingga Desember 2018, selain mencatatkan kinerja negatif, sejumlah sentimen dalam negeri dan luar negeri mendorong investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp45,65 triliun di pasar reguler.

Meski demikian, kinerja IHSG masih tetap lebih baik dibandingkan dengan performa indeks bursa lain di dunia. Di antaranya indeks Hang Seng di Hong Kong terkoreksi 15,30 persen, Straits Times di Singapura minus 10,62 persen, indeks Nikkei 225 di Jepang minus 14,85 persen.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement