IDXChannel - Mei tampaknya bukan periode yang bersahabat bagi pasar saham Indonesia. Jika menengok data kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepuluh tahun terakhir, tren pelemahan lebih sering terjadi dibandingkan penguatan.
Dari 2015 hingga 2024, IHSG tercatat melemah sebanyak tujuh kali di Mei. Artinya, secara statistik, peluang IHSG turun di bulan kelima ini mencapai 70 persen. Beberapa tahun dengan koreksi signifikan, antara lain di 2019 (-3,81 persen), 2023 (-4,08 persen), dan yang terbaru 2024 (-3,64 persen).
Hanya dalam tiga kesempatan — yaitu pada 2015, 2017, dan 2020 — IHSG berhasil mencatatkan kinerja positif selama Mei, dengan kenaikan tertinggi terjadi pada 2015 sebesar 2,56 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)
Fenomena ini kerap dikaitkan dengan istilah populer di pasar keuangan global, yaitu “Sell in May and go away.” Istilah tersebut merujuk pada kecenderungan investor global untuk mengurangi eksposur terhadap aset berisiko, termasuk saham, menjelang musim panas di belahan bumi utara.
Meski Indonesia berada di kawasan tropis dan tidak memiliki musim panas seperti di Eropa atau Amerika, pola perilaku investor global tetap berpengaruh terhadap sentimen di pasar domestik.