IDXChannel - Dunia tengah dihadapkan pada guncangan ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19. Belum selesai Covid-19, Rusia menghantam Ukraina dengan perang yang mengguncang stabilitas geopolitik di kawasan Eropa dan berdampak hampir ke seluruh dunia.
Akibatnya, krisis energi terjadi di banyak negara, rantai pasok global yang menyangkut hajat hidup banyak orang juga terdampak signifikan. Kondisi ini mendorong harga kebutuhan pokok naik, dan inflasi terjadi di mana-mana.
Di Amerika Serikat (AS), salah satu negara adi daya dan pusat ekonomi dunia, juga tengah menghadapi tantangan serupa. Inflasi AS sempat menembus angka tertinggi mencapai 9,1% di bulan Juni tahun ini.
Hingga September, inflasi AS masih berada di angka 8,2% year-on-year (yoy). Inflasi AS yang berada di kisaran 8% tersebut juga masih tercatat sebagai rekor tertinggi dalam 4 dekade terakhir.
Esok hari, bank sentral AS, The Fed akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan dan banyak pengamat melihat inflasi akan tetap pada level tertinggi dalam beberapa decade.
Ini berarti pembuat kebijakan The Fed akan meningkatkan respons mereka dan mendorong kenaikan suku bunga acuan 0,75 poin persentase keempat berturut-turut. Ini juga menandakan pengetatan moneter masih akan berlanjut ke depan.
“Setiap laporan (inflasi) yang cukup negatif dan perkembangan yang tidak menggembirakan menyiratkan bahwa The Fed harus berbuat lebih banyak untuk mengendalikan situasi,” kata David Wilcox, mantan karyawan The Fed yang sekarang bekerja di Peterson Institute for International Economics, mengutip Financial Times, (01/11).
Sejak pertemuan terakhir The Fed, ada tanda-tanda bahwa pasar perumahan melemah karena permintaan konsumen mulai menurun. Namun, data inflasi baru menunjukkan bahwa tekanan harga terus meningkat dan biaya tenaga kerja meningkat.
Melansir Financial Times, hal yang paling mengkhawatirkan, indeks harga konsumen Oktober disinyalir berkontribusi terhadap percepatan inflasi inti.
Sementara inflasi juga masih akan terjadi di industri yang terhambat oleh gangguan rantai pasokan terkait pandemi dan perang di Ukraina termasuk energi hingga industri jasa dan layanan.
Namun, ada pihak yang bertahan dalam kondisi inflasi ini. Beberapa perusahaan digambarkan oleh Forbes sebagai perusahaan serakah yang meraup untung saat inflasi menghantui negeri Paman Sam.
Para perusahaan AS ini disinyalir telah menaikkan harga di luar kenaikan biaya produksi mereka.
Mereka Yang Mendulang Cuan
Berdasarkan penelusuran Forbes, kenaikan margin keuntungan terlihat mencurigakan. Namun perusahaan ini pasti menyangkal bukan sebagai bukti mereka mengambil keuntungan dari harga tinggi untuk menggemukkan pundi-pundi mereka.
Forbes melacak siapa yang menumpuk keuntungan dan bagaimana mereka melakukannya. Untuk itu, Forbes melihat perubahan dalam margin operasi, untuk melihat berapa banyak uang yang dihasilkan perusahaan dari penjualan produk mereka.
1. EQT Corporation
Perusahaan gas alam ini berada di puncak daftar. Perusahaan energi AS yang berkantor pusat di Pittsburgh, Pennsylvania ini mencatatkan lonjakan magin operasional yang awalnya 20,3% hingga September 2021, melonjak 64% hingga tahun ini secara tahunan. Bahkan, ini adalah rekor tertinggi sepanjang masa perusahaan setelah tahun 2015.
EQT adalah produsen gas alam terbesar di AS. Karena harga gas alam melonjak setelah invasi Rusia ke Ukraina, begitu pula pendapatan EQT.
Dalam laporan pendapatan, perusahaan melakukan pengurangan biaya di sumur West Virginia dan dampak akuisisi sebagai sumber utama peningkatan pendapatan.
2. Merck (MERK)
Margin operasi raksasa farmasi Merck melonjak 20 poin persentase selama 12 bulan terakhir dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan margin operasi 35%, penerimaan Merck sama tingginya sejak tahun 2004, menurut data FactSet.
Pengeluaran Merck untuk penelitian dan pengembangan serta biaya restrukturisasi turun sekitar 16% selama setahun terakhir, menurut data FactSet. Jumlah tersebut sejalan dengan kenaikan 20 poin persentase dalam margin operasi selama periode yang sama.