Di pasar saham, saham-saham energi, terutama batu bara, ramai diborong investor. Bersama saham kelas kakap (heavyweights), saham batu bara menjadi penggerak IHSG di periode di atas.
Namun, perubahan angin kebijakan moneter oleh bank sentral negara utama, terutama Amerika Serikat (AS), memukul pasar saham dunia, termasuk Indonesia. Pada Mei, bank sentral AS, The Fed, mulai menaikkan suku bunga sebesar 25 bps.
Selama Mei, IHSG mulai diliputi kekhawatiran soal terhentinya era uang murah. Bahkan, pada medio Mei, yang dikenal dengan fenomena Sell In May, kenaikan YtD (dalam hal ini, periode Januari-Mei) tersisa 0,65 persen, di level psikologis 6.700-an.
Selepas Mei, pada Juni IHSG kembali mencoba kembali memantul ke atas (rebound) pada Juni, mendekati level 7.200-an. Kendati, pada Agustus IHSG merosot lagi ke level 6.800-an.
Nah, setelah Agustus, IHSG kembali mengalami tren kenaikan hingga mencapai level tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) harian pada 13 September, di level penutupan 7.318,01.