sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Masuk Tahun Pemilu, Intip Sektor Konsumen dan Ritel di 2024

Market news editor Maulina Ulfa - Riset
09/01/2024 15:56 WIB
Gelaran pesta demokrasi digadang dapat menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect economy), terutama pada sektor ritel dan konsumsi.
Masuk Tahun Pemilu, Intip Sektor Konsumen dan Ritel di 2024. (Foto: MNC Media)
Masuk Tahun Pemilu, Intip Sektor Konsumen dan Ritel di 2024. (Foto: MNC Media)

Peningkatan daya beli konsumen

Peningkatan daya beli konsumen berpendapatan rendah dan konsumen berpendapatan menengah ke atas akan terjadi di 2024.

Ini karena adanya dampak kenaikan upah minimum regional (rata-rata 3,6 persen di seluruh provinsi), kenaikan gaji pegawai negeri sebesar 8 persen, program bantuan sosial tambahan seperti seperti bantuan beras, dan peningkatan anggaran untuk program perlindungan sosial sebesar 13 persen akan membantu meningkatkan daya beli konsumen berpendapatan rendah.

“Kami juga mengantisipasi pemulihan konsumsi yang lebih kuat pada 2H24 karena potensi penurunan suku bunga yang biasanya menguntungkan lapangan kerja. Sementara itu, konsumen berpendapatan menengah ke atas diperkirakan akan tetap tangguh, dengan normalisasi belanja yang meningkat pasca pembukaan kembali,” tulis riset DBS Group Research.

Peningkatan permintaan bahan pokok konsumen

Permintaan bahan pokok konsumen diproyeksi akan mengalami pertumbuhan penjualan yang lebih kuat, rata-rata sebesar 6 persen yoy disepanjang 2024 dibandingkan tahun fiskal sebelumnya sebesar 2 persen.

“Kondisi ini didorong oleh volume penjualan yang lebih tinggi. Kami memperkirakan pengecer akan membukukan rata-rata pertumbuhan penjualan toko yang sama sebesar 5 persen yoy di banding 3,5 persen yoy di 2023, dengan kinerja retailer (pengecer) kelas atas mengungguli pengecer kelas bawah,”imbuh riset tersebut.

Jika menengok tahun lalu, perlambatan permintaan di segmen retail terjadi pada 2023 dan melampaui perkiraan analis.

“Meskipun kami memperkirakan permintaan akan melambat 2023 karena inflasi yang lebih tinggi, cakupannya pun lebih besar signifikan yang awalnya kami perkirakan,” tulis riset DBS.

DBS menambahkan, dampak positif dari pembukaan kembali ekonomi dan kenaikan upah minimum tidak cukup untuk mengimbangi dampak buruk kenaikan inflasi terhadap daya beli konsumen, khususnya konsumen pada kelompok berpendapatan rendah hingga menengah.

Kondisi ini, menurut DBS akan berdampak pada konsumsi rumah tangga kelompok berpendapatan rendah, terutama sejak lapangan kerja dan berbagai usaha belum sepenuhnya pulih dari pandemi.

Terlebih, ketika pemerintah juga menghentikan program bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai, terutama untuk minyak goreng dan bahan bakar.

“Selain itu, sebagai pandemi mereda pada tahun 2023, kami memperhatikan bahwa pemerintah berhenti memberikan bantuan bantuan COVID-19,” imbuh riset tersebut.

Adapun faktor lain yang perlu diwaspadai di antaranya adalah potensi penerapan cukai minuman manis dan dampak gerakan boikot yang timbul akibat konflik Israel-Gaza. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement