Pada era '98, nilai tukar rupiah terpuruk hingga di atas Rp15.000 per USD dengan banyak lembaga perbankan masuk jurang kebangkrutan dan fenomena likuiditas yang kering.
Sektor perbankan juga tak bisa bertahan dalam krisis keuangan yang melanda di era tersebut, hingga pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank hingga mencapai Rp650 triliun.
Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat situasi pasar mencari keseimbangan baru.
Pada 2005 dan 2008, BI juga menerapkan pengetatan kendati memiliki dampak agak berbeda. Pada 2005 kenaikan harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga, pun terjadi pada 2008.
Namun, kebijakan yang diambil BI pada 2008 relatif berhasil karena krisis tidak berdampak serius pada ekonomi Indonesia di mana pertumbuhan ekonomi menjadi di kisaran 4,1 persen.
Dengan kenaikan suku bunga melampaui level pra pandemi, implikasi yang diharapkan dapat dikatakan masih cukup terbatas. Termasuk di antaranya dampaknya ke rupiah, pasar saham, maupun bagi daya beli masyarakat.
- Rupiah
Pada Kamis (25/4) sehari pasca pengumuman suku bunga BI, rupiah kembali berada di kisaran Rp16.208, melemah 0,37 persen.
Pada perdagangan sebelumnya, seiring keputusan suku bunga BI, rupiah ditutup menguat 0,4 persen di level Rp16.149 per USD. Sepanjang tahun ini, rupiah sudah terdepresiasi 5,19 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sepanjang 2023, posisi terlemah rupiah tahun ini terjadi pada 27 Oktober 2023 di angka Rp15.935/US$ yang juga merupakan posisi terparah sejak 3,5 tahun terakhir.
Namun, kinerja rupiah saat ini memburuk mendekati level Rp16.400 yang sempat dicapai pada 30 Maret 2020.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira pun buka suara menilai, langkah BI dalam mengerek suku bunga acuan hanya sebagai obat parasetamol untuk meredam pelemahan Rupiah jangka pendek.
Bhima menyebut langkah tersebut belum cukup untuk mencegah pelemahan Rupiah.
"Kenaikan suku bunga cuma obat parasetamol untuk redam pelemahan Rupiah jangka pendek. Ya kalau mau pakai suku bunga terus, jangankan 25 bps, sebanyak 50 bps saja belum cukup cegah pelemahan Rupiah," katanya kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (24/4).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat melaju di zona hijau setelah pengumuman suku bunga acuan BI.
Meski demikian, IHSG tak naik signifikan meskipun bank sentral mengerek suku bunga. Lazimnya, pasar saham akan merespon positif jika bank sentral memperketat kebijakan moneternya.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada penutupan perdagangan Rabu (24/4/2024), indeks mencatat kenaikan 63,72 poin atau setara dengan penguatan 0,9 persen ke level 7.174,53.
Tercatat hingga sesi I perdagangan Kamis (25/4), IHSG kembali terkoreksi 0,35 persen di level 7.150 pada pukul 11.43 WIB.
IHSG juga ambles lebih dari 1 persen pada perdagangan sesi II Kamis (19/10/2023), setelah BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan di level 6 persen pada Oktober lalu.
- Cicilan KPR dan Kredit Terancam Bengkak
Kenaikan BI rate juga akan membebani cicilan floating seperti Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Bunga KPR floating bisa membebani konsumen dengan kenaikan cicilan bulanan. Sementara pemegang KPR yang masih dalam periode fix rate masih bisa bernafas lega.
Sayangnya, laju kenaikan suku bunga juga tidak dibarengi laju kenaikan upah. Survei BI mencatat, perkembangan kenaikan upah pada Semester I-2024 sebesar 39,34 persen, lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 42,11 persen.
Menurut Bhima, efek dari kenaikan bunga acuan hanya membuat masyarakat semakin terbebani.