sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Mengintip Prospek Saham Batu Bara, Era Dividen Gemuk Berakhir?

Market news editor TIM RISET IDX CHANNEL
26/11/2025 07:17 WIB
Harga batu bara diperkirakan masih berada di bawah tekanan dalam beberapa waktu ke depan, seiring lemahnya permintaan dari China hingga tingginya stok domestik.
Mengintip Prospek Saham Batu Bara, Era Dividen Gemuk Berakhir? (Foto: Freepik)
Mengintip Prospek Saham Batu Bara, Era Dividen Gemuk Berakhir? (Foto: Freepik)

IDXChannel - Harga batu bara diperkirakan masih berada di bawah tekanan dalam beberapa waktu ke depan, seiring lemahnya permintaan dari China, tingginya stok domestik, dan meningkatnya porsi energi terbarukan dalam bauran listrik negeri tersebut.

Tren ini menahan ruang kenaikan harga dan membuat prospek kinerja emiten batu bara ikut tergerus, sekaligus menurunkan potensi imbal hasil dividen yang selama ini menjadi daya tarik utama bagi investor.

Dalam riset CGS International Sekuritas Indonesia (CGSI) yang terbit pada 24 November 2025, analis mencatat persediaan batu bara di China masih tinggi, mencapai 714 juta ton pada Oktober 2025, jauh di atas rata-rata lima tahunan sebesar 428 juta ton.

Kondisi tersebut turut menekan impor batu bara sepanjang sepuluh bulan pertama tahun ini hingga turun 11 persen secara tahunan.

CGSI menjelaskan bahwa porsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di China terus menyusut seiring meningkatnya porsi energi terbarukan dalam bauran energi.

Pada September 2025, kontribusi pembangkit berbasis batu bara turun menjadi 63 persen, dari 67 persen pada tahun sebelumnya.

Dengan stok yang tinggi dan kapasitas energi hijau yang makin besar, harga batu bara diperkirakan tetap tertekan dalam enam hingga dua belas bulan ke depan.

CGSI memperkirakan harga batu bara acuan NEWC rata-rata berada di kisaran USD95 per ton pada tahun fiskal 2026 dan turun ke USD90 per ton pada tahun fiskal 2027, dari proyeksi USD110 per ton pada tahun fiskal 2025.

Penurunan harga tersebut membuat proyeksi kinerja emiten batu bara direvisi turun. CGSI memangkas estimasi laba bersih tahun fiskal 2026 untuk UNTR, ITMG, dan PTBA sebesar 4-13 persen karena kombinasi harga jual yang lebih rendah dan kenaikan biaya, terutama bahan bakar.

Sementara itu, AADI justru direvisi naik berkat rata-rata harga jual yang sedikit lebih baik. Secara keseluruhan, laba bersih sektor diperkirakan turun 8 persen secara tahunan pada tahun fiskal 2026, dengan emiten batu bara melemah 16 persen, sedangkan kontraktor tambang seperti UNTR naik tipis 1 persen.

CGSI juga mengingatkan bahwa imbal hasil dividen (dividend yield) sektor ini kemungkinan tidak lagi setinggi tahun-tahun sebelumnya.

“Menurut kami, emiten batu bara kecil kemungkinannya mempertahankan tingkat dividen setinggi tahun-tahun sebelumnya, karena prospek laba yang melemah akan membatasi kemampuan mereka untuk membagikan dividen,” kata analis CGSI.

Dengan proyeksi laba yang menurun, dividend yield sektor tahun fiskal 2025-2026 diperkirakan hanya berada di rentang 4-10 persen, dengan rata-rata sekitar 6-7 persen. AADI disebut sebagai emiten dengan potensi dividend yield tertinggi, yakni 9-10 persen.

CGSI menilai pasar masih memiliki ekspektasi dividen yang terlalu tinggi karena konsensus Bloomberg belum sepenuhnya mencerminkan penurunan estimasi laba. Perbedaan estimasi yang cukup besar itu menjadi salah satu alasan lembaga riset ini menurunkan pandangan sektor.

Sejalan dengan prospek harga yang lesu dan profil dividen yang kurang menarik, CGSI menurunkan rekomendasi sektor batu bara menjadi underweight.

Riset tersebut menilai masih ada risiko penurunan lebih lanjut pada harga batu bara dan kemungkinan investor belum mengantisipasi penyesuaian dividen.

CGSI memberi rekomendasi reduce untuk ITMG dan PTBA, menurunkan AADI menjadi hold, serta mempertahankan rating hold untuk UNTR.

Sebagai informasi, dalam kamus CGSI, underweight sektor tersebut diperkirakan akan berkinerja lebih buruk dibanding pasar secara keseluruhan.  

Dengan kata lain, saham-saham dalam sektor itu dipandang kurang menarik dan berpotensi memberikan hasil investasi yang negatif jika dihitung berdasarkan total kapitalisasi pasarnya.

Rekomendasi reduce menunjukkan bahwa harga saham diperkirakan turun dalam 12 bulan ke depan. Investor disarankan mengurangi porsi kepemilikan karena potensi imbal hasilnya diperkirakan berada di bawah 0 persen.

Sementara, rekomendasi hold berarti saham diperkirakan memberikan imbal hasil yang relatif datar hingga positif ringan dalam 12 bulan ke depan, yaitu antara 0 persen hingga sekitar 10 persen. Maksudnya, investor dapat mempertahankan kepemilikan, tetapi prospeknya belum cukup kuat untuk disarankan menambah posisi.

Selain itu, valuasi sektor saat ini disebut sudah berada di atas rata-rata price to earnings (rasio P/E) dalam lima tahun terakhir.

Meski demikian, CGSI mencatat adanya potensi katalis positif, antara lain gangguan pasokan di China dan pemangkasan produksi yang lebih agresif di negara eksportir utama, termasuk Indonesia. Harga batu bara yang bergerak lebih tinggi dari perkiraan juga dapat menjadi penopang tambahan bagi sektor ini. (Aldo Fernando)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

Halaman : 1 2 3 4 5
Advertisement
Advertisement