Dari pasar komoditas, harga emas di pasar spot juga sempat menyentuh all-time high (ATH) di level USD2.385,79 per troy ons pada perdagangan Selasa (16/4) pukul 07.00 WIB.
Emas kembali menyentuh level tertinggi seiring didorong oleh konflik yang memanas di Timur Tengah antara Iran dan Israel.
Alex Ebkarian, COO dan salah satu pendiri Allegiance Gold, mengatakan kepada CBS News, harga emas melonjak lebih tinggi dan melampaui rekor tertinggi karena perpaduan persoalan ekonomi dan geopolitik.
Di antaranya seperti kenaikan inflasi, melemahnya dolar, dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung.
Ebkarian juga menyebutkan aktivitas bank sentral sebagai faktor yang berkontribusi di balik kenaikan harga emas.
“Bank-bank sentral, yang dipimpin oleh negara-negara BRICS Plus, membeli emas dengan kecepatan dan tingkat suku bunga yang lebih cepat setiap bulannya. Kami melihat lebih banyak investasi yang dipimpin oleh bank sentral dalam bentuk emas dibandingkan dengan obligasi pemerintah AS,” kata Ebkarian.
Menilik Fundamental Rupiah
Jatuhnya rupiah ke level di atas Rp16 ribu per USD adalah perpaduan tekanan faktor makro eksternal dan internal.
Dari sisi eksternal, menguatnya dolar imbas pernyataan Jay Powell menjadi tamparan bagi mata uang negara berkembang.
Dari dalam negeri, rupiah menghadapi fundamental yang lemah terlihat dari kinerja ekonomi Indonesia yang kurang memuaskan, terutama karena adanya defisit fiskal dan transaksi berjalan (current account).
Di sisi fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terus mengalami defisit. Pada 2023, angkanya mencapai Rp347,6 triliun, melandai dari tahun sebelumnya sebesar Rp460,4 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di sisi transaksi berjalan, Indonesia masih mengalami defisit. Padahal, transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan mata uang asing dari ekspor-impor barang dan jasa. Sehingga, transaksi berjalan adalah fundamental penting penyokong kinerja mata uang sebuah negara.
BI mencatat transaksi berjalan defisit transaksi berjalan sebesar USD1,6 miliar setara 0,1 persen dari PDB) pada keseluruhan 2023. Posisi ini berbalik jika dibandingkan akhir 2022 yang surplus USD13,2 miliar.
Sementara itu, pada akhir kuartal IV-2023 terjadi defisit USD1,3 miliar (0,4 persen dari PDB). (Lihat grafik di bawah ini.)
Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia pada akhir Maret 2024 juga menyusut menjadi USD140,4 miliar dibanding posisi pada akhir Februari 2024 sebesar USD144,0 miliar.
Melansir BI (5/4), penurunan posisi cadangan devisa ini dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah, antisipasi kebutuhan likuiditas valas korporasi, dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah seiring dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. (Lihat grafik di bawah ini.)
Suku Bunga Terancam Tetap Tinggi
Bank sentral di kawasan Asia Pasifik kini dihadapkan pada pilihan sulit dalam kebijakan suku bunga.
Harapan penurunan suku bunga acuan di kawasan Asia, termasuk Indonesia, semakin pudar tahun ini. Inflasi AS yang masih tangguh membuat The Fed semakin ragu menurunkan suku bunga.