Dari sisi pasar fixed income, Ahmad menilai bahwa Indonesia masih cukup atraktif. Ini lebih mengarah ke bobot alokasi investasi terkait sentimen dari China. "Kalau kita lihat, dampaknya (China) terhadap obligasi Indonesia belum terlalu signifikan. Sentimennya lebih tajam ke AS," ucapnya.
Dia mengatakan, pasar AS masih menjadi benchmark pasar obligasi, sehingga kalau yield-nya naik, otomatis yield Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya mengikuti. "Memang di AS kenaikan inflasinya cukup tajam, bulan Maret itu sekitar 2,6%. Sedangkan yieldnya masih di sekitar 1,6%-an. Kalau kita lihat nilai riil yieldnya minus sekitar 1%, artinya kalau mereka investasi di obligasi, ya daya peluang mereka turun," tukas Ahmad. (TIA)