IDXChannel - Sejumlah faktor global menjadi sentimen yang memengaruhi penerbitan surat utang korporasi pada 2024. Dua hal utamanya mencakup hasil pemilihan umum dan tensi geopolitik Timur Tengah.
Pemilu nasional baik eksekutif dan legislatif telah berlangsung. Kendati masih terdapat sengketa, kondisi ini dipandang dapat mengurangi sikap wait-and-see pelaku pasar modal.
“Dengan selesainya pemilu nasional 2024 ini kondisi wait and see korporasi yang cukup besar pada 2023 cenderung mengalami penurunan,” kata Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto dalam konferensi pers, Kamis (18/4/2024).
Adapun Indonesia bersiap menggelar Pilkada serentak akhir November nanti. Hajatan lima tahun sekali ini dinilai dapat menjaga supply-demand, sehingga membantu pertumbuhan ekonomi.
Hal ini secara otomatis akan berdampak terhadap kinerja perusahaan, sehingga ikut mengerek potensi penerbitan obligasi dan/atau sukuk.
Dari data penerbitan yang masuk hingga kuartal I-2024, sebanyak 56,5% tujuan pendanaan surat utang ditujukan untuk modal kerja, sementara 31,2% adalah untuk refinancing.
Adaptasi Suku Bunga Tinggi
Ekspektasi ekonomi yang kuat menjadi sinyal konsumsi yang tinggi, sehingga diperkirakan akan ikut mendongkrak inflasi, yang tentu akan membuat biaya pinjaman akan lebih tinggi.
Suhindarto memandang adanya adaptasi strategi bagi korporasi menghadapi suku bunga tinggi. Terminologi bunga ‘higher-for-longer’ ini hadir di tengah prospek ekonomi yang positif.
Alhasil, terangnya, situasi ini dapat memunculkan penerbitan surat utang dengan tenor pendek, mengantisipasi mahalnya ongkos pendanaan.
“Hingga akhir Maret kemarin, mostly surat utang yang diterbitkan oleh korporasi itu bertenor satu tahun gitu ya, jadi kami melihat memang ini strategi perusahaan menghadapi suku bunga saat ini,” terangnya.
Suku bunga tinggi dapat berpotensi membebani inflasi, sehingga akan meningkatkan cost-of-fund perusahaan. Suhindarto mengkhawatirkan hal ini dapat berdampak terhadap keuangan korporasi.
Akhirnya hal ini akan berdampak terhadap spread deal atau obligasi korporasi yang membuat investor juga lebih tinggi. “Dari situ biaya untuk penerbitan juga akan meningkat karena kuponnya juga akan mengalami peningkatan,” paparnya.
Melemahnya ekspektasi terhadap penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve juga dinilai masih membebani pasar. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap Bank Indonesia yang saat ini tengah berjuang menahan nilai rupiah terhadap dolar.
Namun langit tak selamanya mendung, karena sinyal pemangkasan bunga Fed Rate masih diharapkan pasar setidaknya pada akhir tahun ini.
“Maka saat ini ekspektasinya hanya tinggal 2 kali saja mungkin penurunannya pun baru akan dilakukan di pertengahan semester kedua nanti,” paparnya.