IDXChannel - Harga batu bara berjangka (futures) Newcastle melemah 0,45 persen pada Senin (24/6/2024) ke level USD131,9 per ton.
Penurunan harga komoditas energi tersebut melanjutkan tren koreksi di pekan sebelumnya di mana secara mingguan harga emas hitam sudah melemah 2,66 persen.
Harga batu bara juga turun dari level tertinggi yang sempat diraih di 2024 pada Mei lalu.
Batu bara berjangka kini di bawah level terendah dalam dua bulan yang disentuh di USD132 per ton pada 7 Juni lalu.
Sebelumnya, harga batu bara sempat menguat di level USD144,9 per ton pada perdagangan akhir Mei 2024.
Harga batu bara Newcastle berjangka juga mencapai harga tertinggi sepanjang tahun ini sebesar USD147 yang dicapai pada 2 Mei 2024.
Meski tren harga turun, namun perdagangan batu bara internasional meningkat hampir 10 persen pada 2023 dengan Indonesia, Australia, dan Rusia merupakan eksportir utama.
Hal ini disampaikan laporan Statistical Review of World Energy 2024 yang dirilis pada Kamis (20/6) pekan lalu. Laporan tersebut menyebut ketiga negara menyumbang 70 persen total ekspor global.
"Indonesia menyumbang 40 persen, lebih dari sepertiga total ekspor global," kata laporan yang dirilis Energy Insitute bersama dengan firma konsultan KPMG dan Kearney tersebut.
Sementara itu, China merupakan importir terbesar batu bara. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari India.
Pada 2023, ekspor batu bara Rusia meningkat sebesar 1,5 persen, ditopang permintaan yang kuat di China tahun lalu.
Sepanjang 2023, China mengalami kekeringan parah sehingga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memproduksi energi lebih sedikit dari biasanya. Alhasil, Beijing mengandalkan batu-bara untuk menambal kekurangannya.
Secara keseluruhan, kawasan Asia Pasifik menyumbang 82 persen impor batu bara global. Di sisi lain, impor Eropa turun ke level terendah sejak 2000.
Melansir World Bank (21/6/2024), pada 2023, konsumsi batu bara diperkirakan mencapai rekor tertinggi, meningkat 120 juta ton (1,4 persen) dibandingkan 2022.
Namun, pertumbuhan permintaan melambat karena lemahnya aktivitas perekonomian global, tingginya penetrasi listrik terbarukan, dan rendahnya harga gas alam.
Di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, permintaan masing-masing turun sekitar 100 juta ton, sementara permintaan meningkat sekitar 220 juta ton di China dan 100 juta ton di India.
Peralihan permintaan global ke Asia terus berlanjut pada 2023, dengan China dan India saat ini menyumbang 70 persen dari total konsumsi.
Namun demikian, harga batu bara diperkirakan akan turun sebesar 28 persen pada 2024 dan 12 persen lagi pada 2025.
World Bank juga mencatat, risiko positif terhadap perkiraan harga batu bara mencakup pertumbuhan konsumsi China yang lebih tinggi dari perkiraan dan berbagai faktor yang dapat menurunkan produksi listrik terbarukan, seperti rendahnya curah hujan.
Risiko negatifnya mencakup melimpahnya pasokan dan pertumbuhan global yang lebih lemah dari perkiraan.
Asumsi dasar bahwa permintaan batu bara China mencapai puncaknya pada 2023 dan mungkin terkendala oleh pertumbuhan pembangkit listrik yang lebih kuat dari perkiraan, seperti yang terlihat pada 2021, atau penurunan produksi pembangkit listrik tenaga air, seperti pada 2023.
Selain itu, tambang batu bara baru sedang dikembangkan di China, dan sekitar 110 GW pembangkit listrik tenaga batu bara disetujui pada 2023, yang menunjukkan bahwa konsumsi batu bara dalam negeri dapat terus meningkat.
Data produksi yang mencakup kuartal I-2024 juga menunjukkan bahwa permintaan batu bara di sektor ketenagalistrikan di China akan meningkat pada 2024 kecuali pembangkit listrik energi terbarukan meningkat pesat selama bulan-bulan musim panas atau permintaan listrik menurun. (ADF)