Menurut Ibrahim, kekhawatiran atas serangan Israel terhadap Iran atas serangan awal Oktober lalu telah menjadi titik utama ketidakpastian bagi pasar, terutama karena kekhawatiran bahwa kerusakan apapun pada infrastruktur minyak atau nuklir Iran akan menandai eskalasi yang mengerikan dalam konflik tersebut.
"Meningkatnya ketidakpastian atas pemilihan presiden AS juga diharapkan akan memacu permintaan safe haven, terutama dengan jajak pendapat baru-baru ini yang menunjukkan persaingan ketat antara Donald Trump dan Kamala Harris. Namun, USD nampaknya lebih diuntungkan dari ketidakpastian ini," ujar dia.
Fokus minggu ini, sambung Ibrahim, adalah serangkaian pembacaan ekonomi utama untuk mendapatkan lebih banyak petunjuk, di antaranya data produk domestik bruto dari AS dan zona Euro akan dirilis dalam beberapa hari mendatang.
Sementara data indeks harga PCE, pengukur inflasi pilihan Federal Reserve, juga akan dirilis akhir minggu ini.
"Dari sentimen internal, pemerintah pada 2025 harus menghadapi tanggung jawabnya untuk membayar utang jatuh tempo, termasuk utang yang dihasilkan dari burden sharing bersama Bank Indonesia kala Covid-19 lalu," tutur Ibrahim.
Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli Bank Indonesia (BI) berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKBI) II senilai Rp100 triliun pada 2025.
Melihat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, tercatat dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III tersebut, terdapat SBN berupa SUN seri Variable Rate (VR) yang khusus dijual kepada BI di Pasar Perdana dalam rangka SKB II dan SKB III dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun.