IDXChannel - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) ditutup menguat pada perdagangan Kamis (27/7/2023). Rupiah naik 35 poin ke level Rp15.000 per USD dari penutupan sebelumnya di Rp14.022.
Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS jatuh setelah Federal Reserve menyampaikan apa yang diharapkan beberapa orang sebagai kenaikan suku bunga terakhirnya, sementara fokus pasar bergeser melintasi Atlantik ke keputusan suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) di kemudian hari.
"The Fed pada hari Rabu menaikkan suku bunga sebesar seperempat persentase poin, seperti yang diharapkan, menandai kenaikan suku bunga ke-11 bank sentral dalam 12 pertemuan terakhirnya," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (27/7/2023).
Sementara Ketua Fed, Jerome Powell membiarkan pintu terbuka untuk kenaikan lain pada September. Para pedagang tidak yakin, mengirim dolar AS meluncur di perdagangan Asia pada Kamis.
Di luar Fed, fokus minggu ini juga tertuju pada keputusan suku bunga dari Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Jepang (BOJ), ECB menjadi sorotan berikutnya, dengan investor mengharapkan bank sentral untuk menaikkan suku bunga yang sama sebesar 25 bps pada akhir pertemuan kebijakan moneternya pada hari Kamis, dengan fokus pada panduan ke depannya.
Sementara BOJ diperkirakan akan mempertahankan suku bunga sangat rendah dan mempertahankan kebijakan dovish-nya pada hari Jumat, sebagian kecil pedagang juga memposisikan diri untuk potensi kejutan hawkish dari bank Jepang, mengingat tren inflasi di atas target tahunannya.
Dari sentimen internal, Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuannya atau BI7DRR di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur Juli 2023.
Keputusan tersebut diyakini memadai untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah guna mengendalikan imported inflation dan memitigasi dampak limpahan ketidakpastian pasar keuangan global. Sehingga BI kemungkinan masih akan mempertahankan suku bunganya di 5,75% di sisa tahun 2023.
Lebih lanjut, mengenai situasi global, bank sentral global utama seperti The Fed, ECB, dan BoE telah memberikan sinyal untuk melanjutkan pengetatan kebijakan moneter mereka di sisa tahun 2023. Hal ini menyebabkan ketidakpastian pasar keuangan global meningkat.
Namun, baik pasar obligasi maupun saham Indonesia tetap mencatat net inflow year-to-date. Neraca perdagangan Indonesia juga terus mencatat surplus.
Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor Hasil Ekspor Devisa Hasil Eksploitasi, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam yang berlaku efektif 1 Agustus 2023 sebagai langkah strategis untuk meningkatkan likuiditas valas dan mengurangi tekanan nilai tukar Rupiah.
Selain itu, pihaknya juga mengantisipasi BI akan merespons dengan cermat keputusan The Fed dalam pertemuan FOMC Juli 2023, di mana kenaikan FFR (Fed Funds Rate) diperkirakan sebesar 25 bps. Dampak transmisi FFR terhadap Indonesia akan semakin nyata melalui imbal hasil obligasi pemerintah.
"Di sisi domestik, tingkat inflasi Indonesia hingga Juni 2023 turun ke kisaran sasaran BI 2-4%, atau tepatnya sebesar 3,52% yoy, berkat upaya pemerintah dalam mengendalikan harga dan pasokan pangan," jelas Ibrahim.
Berdasarkan sentimen tersebut, untuk perdagangan besok (28/7), mata uang rupiah diprediksi bergerak fluktuatif cenderung menguat di rentang Rp14.970-15.050 per USD.
(FAY)