IDXChannel - Saham-saham perbankan utama mengalami tekanan jual dalam beberapa waktu terakhir, seiring meningkatnya kekhawatiran investor, termasuk asing, terhadap kondisi makro global maupun domestik.
Meski outlook jangka pendek terlihat penuh tantangan, sejumlah analis menilai masih ada ruang pemulihan, terutama bagi saham-saham bank yang defensif dan berfundamental kuat.
Di pasar, saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), misalnya, terkoreksi 8 persen dalam sebulan terakhir dan merosot 17 persen sejak awal tahun (YtD). Serupa, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) minus 3 persen dalam sebulan dan turun 5 persen sepanjang 2025.
Demikian pula, saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) terdepresiasi 10 persen dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melemah 5 persen dalam sebulan belakangan.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai sektor perbankan masih menghadapi tekanan dari berbagai sisi, baik global maupun domestik.
Ia menyoroti bahwa investor global belum kembali melirik pasar negara berkembang (emerging markets/EM) sebagai destinasi investasi.
“Mulai dari global yang belum melirik EM sebagai destinasi investasi, serta melemahnya growth forecast,” kata Michael, Selasa (15/7).
Secara domestik, pelemahan juga terlihat di sejumlah indikator ekonomi utama. “Mulai dari PDB yang turun di bawah 5 persen, Purchasing Managers Index (PMI) yang turun, serta inflasi dan laporan keuangan yang melemah di kuartal kemarin,” tuturnya.
Kondisi tersebut, menurutnya, membuat prospek sektor perbankan masih belum menarik di mata investor asing. Di tengah dinamika ini, Michael mengingatkan pentingnya strategi yang lebih disiplin bagi para investor.
“Investor perlu mencermati time frame serta money management yang lebih panjang,” demikian kata Michael.
Di sisi lain, CGS International Sekuritas Indonesia (CGSI) mempertahankan rekomendasi overweight untuk sektor perbankan nasional, seiring penilaian bahwa valuasi saat ini telah turun ke kisaran 1,8 kali price to book value (P/BV)—mendekati titik terendah yang sempat tercatat pada Maret 2025.
Dalam riset tertanggal 7 Juli 2025, CGSI mencatat bahwa bank-bank BUMN masih menawarkan imbal hasil dividen (dividend yield) yang menarik, yakni sekitar 9 persen. Namun menjelang pengumuman laporan keuangan kuartal II-2025, CGSI secara taktis lebih memilih saham bank yang tergolong defensif dan dinilai memiliki risiko kinerja mengecewakan yang lebih rendah, seperti BTPS dan BBCA.
Sementara itu, untuk saham bank BUMN, CGSI menilai bahwa perbaikan likuiditas dana pihak ketiga (DPK) akan menjadi pendorong utama potensi kenaikan valuasi (re-rating).
Katalis positif lainnya yang bisa mendongkrak sektor ini meliputi potensi pemangkasan rasio giro wajib minimum (GWM) serta suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Meski demikian, CGSI juga mengingatkan adanya risiko dari kemungkinan suku bunga BI yang bertahan tinggi dalam waktu lama dan realisasi belanja fiskal pemerintah yang lebih lemah dari perkiraan. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.