Analis memperingatkan bahwa jika Iran mencoba membatasi lalu lintas kapal di jalur strategis ini, dampaknya akan signifikan bagi pasar. Rabobank menyoroti kerentanan negara-negara produsen utama seperti Arab Saudi, Kuwait, Irak, dan Iran yang sangat bergantung pada jalur sempit tersebut untuk ekspor minyaknya.
Sebagai anggota utama OPEC, Iran mengekspor lebih dari 2 juta barel per hari. Cadangan kapasitas dari OPEC+ pun diperkirakan setara dengan jumlah tersebut. Meski pejabat Iran menyebut infrastruktur minyak tidak mengalami kerusakan, risiko serangan lanjutan—terutama ke terminal ekspor seperti Pulau Kharg—tetap tinggi.
Analis dari Societe Generale, Ben Hoff, menyebut potensi pola balasan “energi untuk energi” bisa memperparah kekhawatiran dari sisi pasokan.
Sementara itu, produksi minyak AS menunjukkan tren penurunan. Data Baker Hughes mencatat penurunan jumlah rig pengeboran untuk minggu ketujuh berturut-turut, dengan jumlah rig aktif kini hanya 439—terendah sejak Oktober 2021. Hal ini menandakan prospek pasokan domestik yang makin ketat dan dapat memperbesar volatilitas pasar jika pasokan dari Timur Tengah terganggu.
Mengutip analisis FXEmpire, sentimen pasar juga tercermin dari aktivitas opsi (options). Data CME menunjukkan lebih dari 33.000 kontrak opsi call WTI untuk pengiriman Agustus 2025 pada harga USD80 diperdagangkan pada Jumat—volume tertinggi sejak Januari. Ini mencerminkan keyakinan pasar bahwa harga minyak berpotensi naik lebih tinggi seiring memanasnya tensi geopolitik.