Meski begitu, keputusan terkait aksi korporasi itu tetap diserahkan kepada pemegang saham yaitu Menteri BUMN. “Kalau melihat kondisi kami di Garuda saat ini, kondisi harga sahamnya yang di bawah harga saham right issue, kecil sekali menurut saya terjadi aksi korporasi right issue sampai tahun ini. Tapi kembali lagi itu kan bukan domain menegement ya itu domain pemegang saham,” ujarnya.
Selain itu, untuk melaksanakan aksi korporasi tersebut, pihaknya juga masih harus membahasnya dengan pemegang saham dan perlu mendiskusikannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Ada statement kalau mau right issue lagi datang kepada kami”, tambahnya.
Sejauh ini, Garuda telah melaksanakan right issue, obligasi wajib konversi, dan private placement. Total dana yang dihimpun mencapai Rp17,6 triliun.
Dari aksi korporasi itu, pemerintah menyuntikan Penambahan Modal Negara (PMN) sebesar Rp7,5 triliun. Dengan proses restrukturisasi tersebut, Garuda berhasil memperbaiki kinerja keuangan.
Berdasarkan laporan keuangan, Garuda berhasil membalikkan rugi menjadi laba bersih sebesar USD3,73 miliar atau sekitar Rp55 miliar pada 2022.
Sementara itu, pada 2021, perseroan membukukan rugi bersih sebesar USD4,15 miliar atau setara Rp61 triliun (kurs Rp14.712).
Lonjakan laba bersih yang cukup besar itu mayoritas berasal dari restrukturisasi. Berdasarkan laporan keuangan, keuntungan dari restrukturisasi pembayaran mencapai USD1,38 miliar dan pendapatan dari restrukturisasi utang mencapai USD2,85 miliar.
Adapun, pendapatan usaha GIAA sepanjang 2022 mencapai USD2,1 miliar atau sekitar Rp30 trilun. Nilai tersebut naik 57,18% dari tahun sebelumnya sebesar USD1,33 miliar atau setara Rp19,56 triliun.
Mayoritas pendapatan berasal dari penerbangan berjadwal sebesar USD1,68 miliar. Ditambah dari penerbangan tidak berjadwal sebesar USD174,81 juta dan lainnya sebesar USD235,29 juta.
Penulis: Febrina Ratna & Anabela C. Zahwa
(FRI)