Tepat di tanggal 10 Agustus 1977, Bursa Efek kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto dan ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. BEJ sendiri pada saat itu telah dijalankan dibawah Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM). Meski saat itu, pasar modal tidak mednapatkan respon positif karena undang-undang yang berlaku pada saat itu banyak membatasi ruang gerak suatu perusahaan.
Pada tahun 1977 hingga 1987, perdagangan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sangat lesu hingga Jumlah emiten yang tercatat selama 10 tahun tersebut baru mencapai 24 emiten. Selama periode tersebut, masyarakat lebih memilih instrumen perbankan.
Dengan adanya tanggapan seperti itu, pada tahun 1987 pemerintah Indonesia melakukan deregulasi terkait peraturan undang-undang pasar modal yang mempermudah Emiten dan juga investor. Demi pertumbuhan pasar modal Indonesia yang semakin baik, Pemerintah RI memutuskan untuk membuka peluang bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dengan batas kepemilikan saham maksimum 49%.
Di tahun 1987, pertumbuhan pasar modal juga ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia. Selanjutnya, di tahun 1988 hingga 1990, paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Dimana, saat itu pintu BEJ terbuka untuk investor asing.
Ditahun tersebut, operasional BEJ dilakukan oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE) dengan anggota bank negara, bank swasta, hingga Pialang efek. Pemerintah RI pada akhirnya mengeluarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 1952 sebagai Undang-Undang Darurat yang ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa di tanggal 26 September 1952.