IDXChannel - Rencana merger BUMN aviasi antara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Citilink Indonesia, dan PT Pelita Air Service riuh terdengar di jagat maya. Rencana tersebut langsung digaungkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir beberapa waktu lalu.
Erick berdalih, ada dua alasan yang mendorong rencana penyatuan tiga perusahaan tersebut.
Pertama, sebagai upaya efisiensi biaya logistik. Ia menilai, merger bisa membuat industri penerbangan negara semakin kuat dan efisien.
"BUMN terus menekan biaya logistic. Pelindo dari 4 (perusahaan) menjadi 1. Sebelumnya, logistic cost mencapai 23 persen, sekarang jadi 11 persen. Kita juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost," ungkap Erick pada Senin, (21/8/2023).
Kedua, memperkuat industri penerbangan Indonesia. Erick mengatakan industri penerbangan di dalam negeri sampai saat ini masih perlu diperkuat. Erick mengatakan program efisiensi klaster maskapai tersebut akan dibentuk seperti Pelindo.
Lantas seperti apa prospek merger ketiga BUMN aviasi ini? Bagaimana persaingan bisnis penerbangan di sisa 2023?
Peta Persaingan Bisnis Aviasi RI
Terdapat beberapa pemain utama bisnis aviasi komersial besar di RI selain PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), dan Pelita Air, yakni Lion Air, Air Asia Indonesia, dan Sriwijaya Air.
Pangsa penerbangan di RI masih cukup menjanjikan mengingat karakter Indonesia sebagai negara kepulauan.
Selain itu, pulihnya mobilitas masyarakat yang sebelumnya terdampak Covid-19 juga menjadi angin segar bagi bisnis di segmen ini.
Per Maret 2023, PT Angkasa Pura (AP) II menyebutkan bahwa potensi pasar penerbangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) masih didominasi oleh pelayanan standar minimum atau Low Cost Carrier (LCC) dengan pergerakan rute domestik.
PT Angkasa Pura (AP) II menyebutkan bahwa potensi pasar penerbangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) masih didominasi oleh pelayanan standar minimum atau Low Cost Carrier (LCC) dengan pergerakan rute domestik.
LCC yang beroperasi di Bandara Soetta adalah Citilink (Garuda Indonesia Group), Lion Air, Super Air Jet, dan AirAsia Indonesia.
Selain itu, kompetitor GIAA dan Pelita Air nampaknya juga berkinerja tak lebih baik. Menurut laporan The 2023 Airline Index yang dirilis oleh Bounce, dua maskapai asal Indonesia, yakni Lion Air dan Wings Air harus rela masuk ke daftar maskapai penerbangan internasional terburuk di dunia.
Penilaian Bounce dilakukan terhadap 52 maskapai dari berbagai negara yang melayani penerbangan internasional. Adapun 12 Maskapai di antaranya termasuk penerbangan terbesar di Amerika Serikat (AS).
Penilaian didasarkan pada sejumlah indikator, seperti ketepatan waktu, tingkat pembatalan penerbangan, kualitas makanan dan hiburan dalam pesawat, kenyamanan kursi pesawat, kualitas pelayanan awak kabin, hingga kebijakan bagasi.
Dari berbagai indikator tersebut, Wings Air dinobatkan sebagai maskapai penerbangan internasional terburuk. Anak usaha Lion Group tersebut hanya mendapatkan skor 0,37 dari total 10 poin. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara sang induk Wings, Lion Air berada di posisi kedua mendapatkan skor 0,61 poin, dengan tingkat ketepatan waktu 48,76 persen dan tingkat pembatalan mencapai 20,01 persen.
Adapun maskapai anak usaha Lion Air lainnya, yakni Batik air menduduki peringkat ke-13 maskapai terburuk dalam daftar ini, dengan skor 2,48 poin. Tercatat, tingkat ketepatan waktu Batik Air sebesar 58,11 persen dan tingkat pembatalan 10,48 persen.
"Ini berarti, terbang dengan Wings Air sangat berisiko jika anda memiliki jadwal yang padat atau memiliki jadwal penerbangan lanjutan," tulis Bounce dalam laporannya.