Biasanya, pinjaman yang diberikan oleh Bank Deprok berjumlah kecil, mulai dari ratusan ribu hingga beberapa juta rupiah. Namun, bunga yang dikenakan bisa sangat tinggi dan tidak jarang memberatkan si peminjam. Karena sifatnya yang tidak diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), aktivitas ini rentan akan penyalahgunaan.
Metode penagihan yang dilakukan pun cukup ekstrem. Dengan duduk bersimpuh di depan rumah si peminjam, si pemberi utang mencoba memberi tekanan moral dan sosial, baik kepada si peminjam maupun keluarganya. Hal ini bisa memicu rasa malu, stres, bahkan konflik antar warga.
Istilah Bank Deprok sering disamakan dengan lintah darat atau rentenir, karena mereka memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat yang membutuhkan uang cepat, namun tidak punya akses ke lembaga keuangan formal seperti bank atau koperasi. Karena itu, banyak yang menganggap keberadaan Bank Deprok sebagai fenomena yang merugikan masyarakat.
Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang mengandalkan jasa Bank Deprok karena proses peminjamannya mudah, tanpa jaminan, dan tanpa syarat administrasi rumit. Inilah yang menjadi dilema, ketika akses keuangan legal tidak bisa dijangkau, masyarakat terpaksa memilih opsi yang justru bisa menjerat mereka dalam utang berkepanjangan.
Setiap daerah biasanya memiliki istilah masing-masing untuk merujuk pada aktivitas pinjam meminjam individu ini, seperti Bank Deprok dan Bank Emok. Bank Deprok adalah fenomena sosial yang perlu ditangani secara serius. Masyarakat juga perlu diberi edukasi mengenai literasi keuangan agar terhindar dari praktik utang yang merugikan.