IDXChannel - Persoalan kesehatan mental pekerja menjadi salah satu sorotan pada Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober. Bagi para pekerja di berbagai belahan dunia, isu kesehatan mental bukan sekadar masalah tahunan, melainkan tantangan sehari-hari yang hadir dalam tekanan deadline, tumpukan email, rapat beruntun, dan dinamika hubungan kerja yang kompleks.
Laporan "SHRM 2025 Insights: Workplace Mental Health" mengungkap fakta mencengangkan di balik aktivitas kerja yang tampak biasa-biasa saja. Lebih dari 52 persen persen karyawan dilaporkan mengalami burnout atau kelelahan kerja kronis, sementara empat dari sepuluh pekerja menyatakan bahwa pekerjaan mereka memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental.
Generasi Z terbukti menjadi kelompok paling rentan di lingkungan kerja, di mana 91 persen di antaranya kerap menghadapi tantangan kesehatan mental dan 35 persen mengalami depresi.
Meski sekitar 60 persen karyawan mengaku puas dengan pekerjaannya saat ini, fakta menariknya mereka tetap aktif mencari peluang kerja lain. Fenomena ini, yang dikenal dengan istilah "puas tetapi ingin keluar", menjadi sinyal penting bahwa tekanan mental yang terus menumpuk telah menjadi faktor pendorong utama perpindahan talenta di dunia kerja modern.
Isu kesehatan mental di tempat kerja juga menjadi perhatian serius jutaan pekerja di Indonesia. Berdasarkan hasil Survey Workplace Wellbeing Score Indonesia 2025, tingkat kesejahteraan mental pekerja di tanah air masih berada di bawah rata-rata global, yakni sebesar 50,98 persen berbanding 58,62 persen. Kondisi ini berdampak langsung pada produktivitas dan kesejahteraan karyawan, ditandai dengan peningkatan angka absensi dan penurunan produktivitas kerja.
Tidak sedikit pekerja yang secara fisik hadir di tempat kerja, namun secara mental mengalami kelelahan dan kehilangan semangat kerja. Biaya yang hilang akibat penurunan produktivitas karena stres kerja diperkirakan mencapai USD300 hingga USD900 per karyawan per bulan.
Kartika Amelia, pakar HR dari HCC (Human Care Consulting), mengungkapkan bahwa perusahaan yang belum memiliki sistem deteksi dan penanganan stres secara dini sering terlambat menyadari turunnya performa tim. Penurunan performa ini lebih disebabkan oleh beban mental tidak terkelola daripada kemampuan yang menurun yang berakibat terjadinya kelelahan kerja kronis.
“Burn out bukan sekedar isu personal. Tanpa deteksi dini, Perusahaan bisa kehilangan produktivitas yang nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah per karyawan setiap bulan,” katanya.
Menanggapi situasi ini, Kartika merekomendasikan pengembangan Psychological Check-Up (PCU) sebagai solusi strategis penting. PCU merupakan skrining sederhana namun menyeluruh yang memungkinkan individu dan organisasi mengenali tingkat stres, kecemasan, dan kondisi psikologis secara jujur dan ilmiah.
“Dari pengalaman HCC mengelola program PCU, data hasil PCU membuka pintu bagi intervensi yang tepat, seperti sesi konseling profesional oleh psikolog bersertifikat, pelatihan ketahanan mental, dan program kesejahteraan yang personal dan berbasis bukti,” jelasnya.
Mencuplik laporan Workplace Wellbeing Initiative Trends 2025, Kartika menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data seperti PCU ini telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 20 persen, sekaligus menurunkan angka absensi dan pergantian karyawan hingga 30 persen. Pemantauan berkelanjutan lewat dashboard digital memungkinkan tindakan cepat dan adaptif, menciptakan budaya kerja yang aman secara psikologis dan lebih inklusif.
Menurut Kartika, membuka ruang untuk bicara dan memberikan dukungan bukan hanya meringankan beban mental karyawan, tapi juga membangun ketahanan individu dan kekokohan organisasi dalam menghadapi masa depan yang semaki kompleks.
"Kesehatan mental harus menjadi prioritas strategis yang didukung oleh data dan tindakan sistematis. Dengan strategi yang tepat, tempat kerja tidak hanya menjadi sumber pencapaian hasil, melainkan juga ruang yang menjaga dan menguatkan manusia di dalamnya,” katanya.
(Shifa Nurhaliza Putri)