Sekalipun ICJ menetapkan bahwa kuil ini milik Kamboja dan diakui terletak di wilayah Kamboja, akses langsung untuk menuju Preah Vihear hanya ada di Thailand, tetapi pada 2015 situasi akses ini berubah, yakni hanya lewat Kamboja.
Menurut Walter F. Vella dalam The Indianized States of Southeast Asia, konstruksi pembangunan kuil pertamanya dimulai pada awal abad ke-9. Pada beberapa abad setelahnya, kuil ini didedikasikan untuk Siwa, entitas dewa dalam Hindu.
Sebagian besar bangunan kuil ini dibangun pada masa pemerintahan raja Khmer, Suryawarman I, meskipun beberapa sisa bangunan juga menampakkan bukti-bukti pembangunan pada abad ke-10, tepatnya di era Koh Ker.
Setelah terjadi penurunan penganut Hindu di wilayah sekitar kuil, situs bersejarah itu akhirnya diubah untuk digunakan para buddhist. Pada era modern, setelah kuil ini ditemukan kembali, Preah Vihear menjadi subjek perselisihan antara Thailand dan Kamboja.
Perselisihan ini terjadi karena perbedaan peta yang digunakan kedua negara dalam penetapan wilayah. Pada 1904, Siam (Thailand) dan kolonial Prancis yang saat itu menguasai Kamboja, sepakat untuk menggunakan punggungan gunung untuk menentukan batas wilayah.
Karena kesepakatan itu, Preah Vihear dianggap masuk ke wilayah Thailand. Prancis pun menyepakati penetapan wilayah itu pada 1904. Peta topografi yang dihasilkan dari kesepakatan itu dikirim ke Siam dan digunakan untuk penetapan di ICJ pada 1962.
Pada saat itu, peta topografi hasil kesepakatan antara Prancis dan Thailand rupanya menunjukkan sedikit penyimpangan garis batas yang digunakan, dan menempatkan kuil tersebut sepenuhnya di wilayah Kamboja.
Setelah tentara Prancis menarik diri dari Kamboja pada 1954, Thailand merebut kuil tersebut itu mengukuhkan klaim kepemilikannya. Kamboja lantas melayangkan protes dan pada 1959 meminta ICJ untuk menetapkan wilayah kuil di Kamboja.
Itulah sejarah Kuil Preah Vihear yang jadi penyebab konflik Thailand-Kamboja.
(Nadya Kurnia)