Salah satu korbannya, Mike Schlenz, seorang pakar komputer dari SiliconValley, California, Amerika Serikat. Kala itu, itu terpaksa tinggal di rumah penampungan. Padahal, sebelum kehilangan pekerjaan, Schlenz mempunyai penghasilan USD60.000 per tahun sebagai kontraktor freelance yang membangun jaringan komputer bagi perusahaan dotcom.
Fenomena dotcom bubble juga mempengaruhi Indonesia. Beberapa perusahaan berbasis internet asal Indonesia, seperti astaga.com, kopitime.com, hingga kafegaul.com akhirnya berguguran. Ketika dotcom bubble terjadi, masalah yang dihadapi startup adalah perusahaan tidak fokus dengan model bisnis yag dijalankannya.
Pada 2001, misalnya, kopitime.com telah melaksanakan IPO serta mempunyai dana Rp15 miliar. Alih-alih pivot menyelamatkan bisnis, namun kopitime.com justru terombang-ambing dengan merumahkan sebagian karyawan pada 2002. Hingga akhirnya pada 2004, kopitime.com menerima suspensi saham dari bursa efek yang berakibat terkendala dalam penerimaan investor baru.
Sebelum disuspensi, perusahaan dengan kode emiten KOPI ini mempunyai harga saham berada di level Rp5/saham. Sementara, harga sahamnya ketika IPO adalah Rp250/per saham. Sepanjang 2003-2004, KOPI sama sekali tidak mempunyai pendapatan setelah runtuhnya bisnis dotcom baik di dunia maupun Indonesia.
Lantaran tidak ada pemasukan, pada 2003 dan 2004, KOPI mencatat kerugian, masing-masing mencapai Rp2.314.000 dan Rp13 juta. Walaupun kinerja perusahaan tidak bagus, namun bursa efek tidak melakukan delisting, melainkan hanya memberi sanksi suspensi serta denda administratif.
Fenomena dotcom bubble yang pernah terjadi ini tentu mengejutkan untuk dunia startup. Namun bisa menjadi bekal bagi startup digital saat ini untuk mempunyai daya tahan yang tinggi. Terlebih, di tengah gelombang pemutusan hak kerja (PHK) yang terjadi di industri perusahaan rintisan. (FHM)