"Terkait dengan upaya percepatan penurunan stunting di NTT, terdapat beberapa hal strategis yang perlu dilaksanakan di antaranya adalah penguatan surveilans gizi terhadap balita, agar pendataan kasus stunting dapat lebih akurat," kata dr. Brian.
Menurutnya, hal ini diperlukan agar tidak terdapat perbedaan data yang signifikan terhadap prevalensi stunting baik menggunakan instrumen Survei Status Gizi Indonesia atau menggunakan Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM).
Perlu diketahui, Presiden Joko Widodo telah mengamanatkan perlunya intervensi spesifik dan intervensi sensitif untuk mendorong pencapaian target prevalensi stunting sebesar 14% pada 2024.
Terdapat 12 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi dan jumlah kasus stunting tertinggi yang kemudian mendapatkan pendampingan terpadu dari kementerian/lembaga yang tergabung dalam Tim Percepatan Penurunan Stunting.
Seperti diketahui, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia yaitu 37,8% pada 2021 berdasarkan kepada hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI).
Pemerintah sendiri terus mendorong penurunan stunting di Provinsi NTT. Salah satunya melalui kegiatan Pendampingan Terpadu Percepatan Penurunan Stunting di Kupang.
Kegiatan yang berlangsung pada Jumat lalu ini turut dihadiri oleh Deputi III Kementerian Koordinator Bidang PMK, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Plt. Kepala Bappelitbangda NTT, Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Kepala Dinas Kesehatan NTT, dan perwakilan dari Kabupaten yang menjadi fokus yakni Sumba Barat Daya, Alor, dan Manggarai Timur.
(FRI)