Dalam kebijakan baru ini, pemohon visa bisa diminta membuka akun media sosial mereka ke publik. Petugas konsuler akan menggunakan mesin pencari dan platform daring untuk memverifikasi data.
Penolakan untuk membuka akses dapat dinilai sebagai upaya menyembunyikan informasi, dan dukungan terhadap kelompok seperti Hamas di media sosial akan jadi alasan langsung penolakan visa.
Proses yang lebih rumit ini bakal membuat jumlah wawancara yang diproses setiap hari menjadi terbatas. Kedutaan dan konsulat diminta memprioritaskan dokter asing dan mahasiswa yang akan kuliah di kampus dengan persentase mahasiswa internasional di bawah 15 persen.
Kebijakan ini menuai kritik dari kelompok kebebasan sipil di AS. Kelompok tersebut menilai kebijakan ini berisiko membatasi hak kebebasan berpendapat. Salah satu kasus menonjol adalah mahasiswa asal Turki yang sempat ditahan selama enam minggu karena mengunggah kritik terhadap kampusnya soal konflik Israel-Gaza.
(Ibnu Hariyanto)