Isu ini mencerminkan ketegangan antara negara-negara berkembang, yang menyumbang sebagian besar data dunia, dengan perusahaan AI dari negara kaya yang menolak membayar lisensi atau royalti. BRICS menyatakan ini sebagai standar ganda dalam pengelolaan data dan inovasi.
Selain itu, BRICS juga menyuarakan tata kelola AI global harus inklusif, berkelanjutan, menghormati kedaulatan negara, serta memperhatikan kebutuhan Global South. Mereka meminta mekanisme regulasi yang dipimpin PBB untuk memastikan pemerataan akses dan manfaat AI.
Sebelumnya, para menteri luar negeri BRICS telah menandatangani deklarasi menekankan AI harus digunakan secara bertanggung jawab, aman, etis, dan sesuai kerangka hukum nasional serta Piagam PBB. Mereka juga mendorong dialog kebijakan internasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kapasitas teknologi di negara berkembang.
Advokasi BRICS kali ini menunjukkan dorongan kuat negara berkembang agar AI tidak hanya menjadi permainan negara maju dan korporasi besar, tapi juga memastikan penghargaan dan perlindungan bagi pencipta konten serta negara penyumbang data.
Rancangan pernyataan ini akan resmi diadopsi saat pertemuan para pemimpin BRICS pada 7 Juli di Rio de Janeiro. Apabila disetujui, ini akan menjadi deklarasi bersama pertama yang mengatur penggunaan AI dan data secara adil di forum negara-negara berkembang tersebut.
(Ibnu Hariyanto)