Kendati demikian, menurutnya, metode TMC tanpa hujan tersebut memerlukan persiapan matang. “Untuk saat ini, kami belum siap. Masih perlu mendesain dan membuat konsul untuk menempatkan dry ice di dalam kabin pesawat. Dry ice ini yaitu CO2. Jika packaging dan handling di pesawat sembarangan, kru bisa kehabisan oksigen atau hypoksia,” ujarnya.
Menurut Budi, ada satu alternatif bahan semai lain yang bisa dicoba dan lebih memungkinkan untuk diimplementasikan, yaitu menggunakan kapur tohor. Bedanya, kata Budi, kalau dry ice mengkondisikan udara agar menjadi lebih dingin, sementara dengan kapur tohor sebaliknya, mengkondisikan udara menjadi lebih panas.
“Tapi prinsipnya sama, mengondisikan suhu di lapisan isotherm pada ketinggian tertentu untuk mengganggu kestabilan atmosfer,” ujar Budi.
Dari sisi pembiayaan, lanjut Budi, metode TMC penyemaian garam dengan metode TMC dry ice atau kapur tohor di atmosfer tidak ada perbedaan signifikan. Sebab, komponen yang paling besar memakan biaya adalah pesawat, yaitu mencapai 60 persen porsi anggaran dalam melakukan TMC.
“Komponen yang paling besar itu pesawat. Jadi penggunaan pesawat, terutama untuk pemakaian avtur, ini memakan anggaran porsinya kurang lebih sekitar 60 persen,” jelas Budi.
Saat ini, kata Budi, pesawat yang digunakan dalam operasi TMC pengurangan polutan ini ditarik dari Pos TMC Karhutla di Kalteng.
“Kebetulan cuaca Kalteng dalam kondisi kering sehingga untuk sementara pesawat diperbantukan melaksanakan penyemaian mengurangi polutan Jabodetabek. Segera setelah selesai operasi TMC ini, pesawat akan diterbangkan kembali ke Kalteng,” ujarnya.
(FRI)