Keempat, program ini cukup rawan untuk potensi terjadinya korupsi. Karena saat ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance).
Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.
Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak ikut iuran, tetapi penyelenggaranya pemerintah.
Kelima, iuran Tapera terkesan memaksa. Jika konsep Tapera adalah tabungan, harusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.
Belum lagi menurutnya Tapera merupakan tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan.
Keenam, program ini dianggap Said Iqbal masih belum jelas karena memang belum siapnya regulasi pendukung yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri terkait.
Sebab, menurutnya cukup riskan program tersebut jika diimplementasikan kepada para pekerja di sektor swasta. Karena hingga saat ini pun masih banyak para pekerja yang masih berstatus kontrak, outsourcing, sehingga bisa diputus pekerjaannya sewaktu-waktu oleh perusahaan.
(FRI)