“Petani milenial ini harus mendapat pemahaman yang cukup tentang cuaca dan iklim, agar mereka bisa menyusun perencanaan strategi dan langkah-langkah apa yang harus disiapkan dilakukan bila sewaktu-waktu terjadi kekeringan atau kondisi ekstrim seperti banjir dan lain sebagainya yang bisa berakibat gagal panen,” katanya.
“Jika gagal panen dampaknya bisa kemana-mana, karena mengancam kestabilan harga dan bisa mengakibatkan inflasi. Nah, inflasi ini dapat berdampak pada daya beli masyarakat, penurunan nilai mata uang, kenaikan suku bunga, sampai perlambatan pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Karena itu, generasi petani milenial dan penggunaan teknologi memiliki peran penting dalam memajukan sektor pertanian. BMKG sendiri, lanjut Dwikorita, menyediakan informasi cuaca dan iklim yang dapat diakses dengan mudah oleh petani. Diharapkan, petani dan tenaga penyuluh pertanian bisa memanfaatkan layanan informasi cuaca dan iklim tersebut dengan baik serta mampu beradaptasi dengan situasi cuaca dan iklim kekinian.
Dwikorita menerangkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. Pada tahun 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.