Setuju dengan Prof. Tri Tjahjono, Ki Darmaningtyas mengungkapkan jika tilang manual masih cukup penting karena publik tahu apabila polisi menindak pelanggaran lalin secara langsung. Selain itu, tilang manual merupakan shock therapy bagi pengguna jalan lain.
“Tilang manual juga menjaga kewibawaan aparat kepolisian sendiri karena pelanggar ditindak. Pelanggar dikenai langsung hari itu juga sehingga dapat mencegah perbuatan salah lebih lanjut. Bukan berarti menolak perintah Kapolri tapi dijalankan sesuai dengan kesiapannya. ETLE tetap terus dijalankan, namun tilang manual tetap diperlukan,” pungkas Ki Darmaningtyas.
Anggota Polri Tak Percaya Diri
Sementara itu, Aan mengatakan dari sisi internal Polri merasa kurang percaya diri dengan dihilangkannya tilang manual.
“Banyak fenomena yang terlihat, di internal Polri ada yang kurang percaya diri, ada yang tidak berani turun ke lapangan. Ini karena kurangnya memahami, sesungguhnya penegakan hukum tidak hanya tilang, ada patroli dan gatur,” katanya
Lebih lanjut, Aan juga membagi masyarakat kepada tiga golongan, yaitu golongan kesadaran terendah ketika ada petugas tetap melanggar, kedua ada petugas dan ETLE dia patuh, dan yang tertinggi tidak ada petugas dia tetap patuh.
“Kelompok ketiga, tidak ada petugas tetap mematuhi, karena kesadarannya yang tinggi. Ini perlu kita treatment, kelompok ketiga secara kasat mata lebih dari 50 persen. Dilihat dari yang melanggar bahu jalan saat tol macet, tidak menggunakan helm dan sebagainya,” ujar Brigjen Aan.
Penulis: Ahmad Fajar
(FRI)